Sabtu, 30 Juni 2012

Psikoterapi Part X

PERKEMBANGAN KOGNITIF : DARI MASA REMAJA KE DEWASA

1. Piaget Dan Kognisi Orang Dewasa
a. Tahap Operasional Formal
Pada masa dewasa, menurut piaget Tahap perkembangan kognitif berada pada masa operasional formal, pada masa ini sudah muncul kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan scientifik. Seorang pada tahap operasional formal sudah mampu untuk menyatukan sistem logika yang dapat digunakan untuk mengeksplore secara sistematis situasi yang hipotesis dan hubungan yang abstrak. (Mc inerney, 2006). Lebih lanjut menurut Papalia (2008) pemikiran remaja pada tahap operasional formal tidak lagi terbatas pada saat ini dan sekarang, namun mereka sudah mulai dapat memahami waktu historis dan ruang luar angkasa, mampu berpikir jauh ke depan, membuat rencana dan strategi untuk mencapainya. Mereka sudah mulai dapat menggunakan simbol untuk menyimbol, mereka sudah memahami metafora dan alegori sehingga mereka dapat menemukan makna di balik literatur.
Kemampuan sentral yang dimiliki anak/remaja pada tahap operasional formal dinamakan dengan kemampuan berpikir hipotesis yakni kemampuan individu untuk mengajukan hipotesis dan mengujinya, untuk berpikir secara proposional, memperhitungkan segala kemungkinan atau kombinasi masalah tanpa terlebih dahulu melihat referensi atau realita fisik. Piage mendeskripsikan pikiran orang pada tahap operasional formal dengan “hypothetico deductive” karena remaja pada tahap ini sudah mampu untuk mengembangkan hipotesis dan mendesain sebuah eksperimen untuk membuktikannya. Sudah mampu mendesain dan mempertimbangkan semua hubungan yang dapat dibayangkannya dan meneliti itu semua secara sistematis, satu persatu, dan mencari yang dianggap benar.
Menurut Piaget elemen dari pemikiran operasioanl formal pada orang dewasa adalah sebagai berikut:
1. Kombinatoris Logis
Selama tahap operasional formal, individu memperoleh kemampuan untuk mengkombinasikan elemen yang berbeda dari masalah secara sistematis untuk menguji hipotesis. Kemampuan ini mirip dengan kemampuan trial and error pada tahap sebelumnya, namun bedanya kemampuan Kombinatoris Logis pada tahap operasional formal memiliki dasar teoretis dan hipotesis yang pasti.
Contohnya adalah ketika ada cairan dengan warna yang berbeda berada dalam tabung, kemudian dua anak diminta untuk mencari hasil kombinasi pencampuran warna, maka anak yang sudah masuk tahap operasional formal akan terlebih dulu secara teoretis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang tercipta, kemudia secara sistematis akan mencoba setiap sel matriks tersebut secara empiris, bila dia menemukan penyelesaian dengan betul maka dia akan mencoba untuk memproduksinya kembali serta kemudian mampu membuat suatu analisis dan kesimpulan. Sedangkan anak pada tahap operasional kongkrit mencoba mengkombinasikannya hanya secara trial and error tanpa dilandasi hipotesis dan tindakan empiris.
2. Berpikir Proposisional
Pada tahap ini remaja sudah memiliki kapasitas berpikir secara proposisional, yang tentunya sudah melebihi kemampuan preposisional anak tahap preoperasional dan operasional kongkrit. Remaja telah dapat memberikan statement atau proporsi berdasarkan pada data yang kongkret. Tetapi kadang-kadang ia berhadapan dengan proposi yang bertentangan dengan fakta. Remaja pada tahap ini sudah mampu untuk mengolah kalimat argumen dalam pikrannya.
3. Proportional reasoning
Anak pada tahap operasional formal sudah mampu untuk melakukan Penalaran secara proporsional. Mereka mampu untuk mengaplikasikan konsep rasio dan proporsi untuk menyelesaikan masalah. Misalnya jika seorang siswa diminta untuk m enggambar peta suatu daerah dengan skala 1: 1000, maka anak pada tahap operasional formal sudah mampu untuk menghitung berapa luas daerah yang harus ia gambar di buku tugasnya.
4. Hypothetical reasoning
Anak pada tahap operasioanal formal sudah mampu untuk melakukan penalaran hipotesis, mereka sudah mampu untuk mengabstrkasikan sebuah struktur struktur dari argumen dan membuat sebuah hipotesis atas isi argumen tersebut. Contohnya dalam sebuah debat, tema dapat dibuat dengan sebuah tema pengandaian semacam “bagaimana jika seandainya seluruh orang di dunia ini dalam 1 bulan akan bertambah berat badannya menjadi dua kali lipat?”
Dengan kemampuan tersebut diatas yaitu kombinatoris logis, berpikir proposisional, penalaran proporsional, dan penalaran hipotesis seseorang pada tahap operasioanl formal akan mampu berpikir lebih pintar dalam hal matematika, sejarah, sains, dan lainnya.
Namun pada kenyataannya tidak semua remaja dan orang dewasa mampu untuk berpikir sesuai dengan keadaan pada tahap operasional formal, mereka lebih banyak berpikir secara asosiatif daripada secara logis. Kemampuan ini menurut Lutz dan sternberg lebih dipengaruhi oleh pengalaman ketimbang oleh maturity (kematangan). Implikasinya sebagai guru tidak boleh mengasumsikan semua siswanya berpikir operasional formal, lebih jauh lagi menurut beberapa penelitian ditemukan bahwa kemampuan berpikir abstrak dimiliki oleh jumlah remaja dan orang dewasa yang terbatas. Sehingga ada dua hal yang penting dalam hal ini yaitu; (a). Tingkat kematangan kognisi (b). Dan tantangan yang spesifik untuk praktek bagi tahapan berpikir operasioanl formal. Jika seseorang tidak ditantang untuk berpikir formal, maka cara berpikir ini juga tidak bakal digunakan.
b. Kritik dari tes piaget
Dalam teori piaget yang dimaksud dengan tes atau aktivitas menalar digunakan untuk membedakan tingkat dari fungsi berpikir dan mengindikasikan tahap perkembangan yang sedang dilalui anak.
Test menjadi subjek kritik, dimana para peneliti menilai bahwa bentuk dari test tidak memadai (berkaitan dengan bahasa yang digunakan, relevansi pertanyaan) para peneliti percaya terutama pada bias bahasa dalam artian terlalu under estimate terhadap kemampuan kognitif anak.
Lebih lanjut kritik juga berkaitan dengan kerangka penggunaan bahasa dalam tes percakapan, anak kecil jelas-jelas tidak mampu untuk mencerna, karena ada perbedaan penggunaan bahasa pada anak dan orang dewasa.
Kebanyakan ahli psikologi sepenuhnya menerima prinsip-prinsip umum Piaget bahwa pemikiran anak-anak pada dasarnya berbeda dengan pemikiran orang dewasa, dan jenis logika anak-anak itu berubah seiring dengan bertambahnya usia. Namun, ada juga peneliti yang meributkan detail-detail penemuan Piaget, terutama mengenai usia ketika anak mampu menyelesaikan tugas-tugas spesifik.
Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa anak-anak baru mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di atas 6 bulan. Balillargeon dan De Vos (1991) ; 104 anak diamati sampai mereka berusia 18 tahun, dan diuji dengan berbagai tugas operasional formal berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk pengujian hipotesa. Mayoritas anak-anak itu memang belum mencapai tahap operasional formal. Hal ini sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donaldson serta Baillargeon dan DeVos, yang menyatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan kemampuan anak-anak kecil dan terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang lebih tua.
c. Implikasi terhadap Lintas Budaya
Banyak teori piaget tentang perkembangan kognitif yang didasarkan pengelolaan persepsi, pemrosesan adaptasi, akomodasi dan asimilasi. Terdapat banyak fakta dari penelitian lintas budaya dan antropologi bahwa cara seseorang untuk merasa, menstruktur, menginterpretasi, dan berhubungan dengan dunianya merupakan fungsi dari pengalaman fisik dan sosial. Konsekuensinya karena teori piaget banyak didasarkan pada persepsi, sangat mungkin jika tidak tepat diterapkan pada budaya yang berbeda. Sehingga sangat dihimbau bagi guru untuk tidak menyimpulkan tahap perkembangan ini dalam seting yang berbeda tanpa memperhitungkan pengalaman terlebih dulu.
d. Status teori Piaget Saat Ini
Banyak orang yang bertentangan terhadap teori piaget percaya bahwa teorinya tidak cukup representatif menjelaskan bagaimana seorang anak dapat bertambah pintar pemikirannya.
2. Pemikiran Lebih lanjut Pada Vygotsky
Cara seorang anak untuk merespon terhadap sekolah dan mendapat manfaat dari pengalaman yang dihadirkan merefleksikan pengalaman budaya dimana anak bersosialisaasi. Perkembangan kognitif anak terbentuk dari sejarah pribadi dan budaya yang berhubungan dengan gender, kelas, ras, keluarga, dan regulasi diri atas nilai yang berarti. Nilai aktivitas yang bernilai menurut pribadi itu akan diterapkan pada lingkungan yang lebih luas yakni lingkungan sosial, politik, dan budaya, yang nantinya akan mendefinisikan mana yang berterima, dan mana yang bernilai dalam konteks yang lebih luas. Dalam konteks yang berbeda ini, individu dan kelompok berusaha untuk memenuhi identitas diri mereka dengan berpartisipasi dalam kegiatan yang mengembangkan keterampilan dan disposisi yang diperlukan untuk unggul dalam lingkungan budaya mereka.
Ras, gender dan jangkauan label yang lain seperti “berbakat” dan “berkebutuhan khusus” meningkat dipandang bukan sebagai karakteristik yang melekat pada seseorang, namun lebih pada faktor kontruksi sosial. Dengan kat lain, identitas diri muncul untuk mengembangkan tugas, hubungan sosial, dan konteks sosial dimana individu belajar didalamnya. Makna belajar dari perspektif ini berarti proses dimana kita menjadi satu dengan melalui aktivitas kolaboratif bersama orang lain dengan memakai alat, bahasa, dan organisasi sosial dari kelompok.
Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana individu dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental individu. Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental individu menjadi matang.
Pandangan kontruktivis dari perkembangan kognitif ini( elemen sosio kultural) mempunyai implikasi yang signifikan dalam memahami perbedaan budaya dan fungsi pendidik di dalam seting lingkungan yang berbeda. Siswa satu sama lain mempunyai cara, bahasa yang berbeda, sehingga pendidikan yang efektif harus mampu meletakkan pembelajaran dalam konteks sosial dan konteks budaya yang tepat.
a. Budaya dan Zona Proximal Development
Bahasa dan bentuk percakapan, dan tingkat familioeritas dan ketidakfamilieran siswa terhadap berbagai macam adat misalnya cara bertanya, atau komputer di dalam lingkugan sekolah haru sdipertimbangkan oleh guru jika guru ingin menjadikan pndidikan relevan. Guru butuh untuk membangun pengalaman siswa untuk meningkatkan perkembangan akademik dan perkembangan sosial siswa. Jadi pendidikan yang efektif menurut pendapat vygotsky harus disituasikan dalam kerangka zone of proximal development individu.
Secara umum praktek sekolah konsisten dengan bagaimana mainstrem siswa bersosialisasi dalam lingkungan budaya rumah dan dengan pilihan belajar dan penguatan yang dikembangkan siswa. Pengajaran yang efektif menuntut guru agar mau membuat hubungan antara budaya rumah dan praktek di kelas, meskipun siswa bukanlah anggota yang memiliki mainstrem budaya yang sama.
Perspektif vygotsky sangat dipengaruhi oleh ide pendidik untuk mendidik secara efektif dalam seting udaya. Lingkungan pergaulan sosiokultur belajar berpengaruh terhadap beberapa hal berikut:
- Cara seseorang belajar
- Nilai dan tujuan yang tepat untuk belajar
- Definisi dari pembelajaran yang bermakana
- Definisi intelegensi dan perilaku intelegensi
- Pentingnya aktivitas individu vs aktivitas kelompok
- Pengukuran dan evaluasi yang tepat.
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa anak-anak mampu melakukan sesuatu sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada anak. Aktual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah bahwa siswa belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi
b. Teori Belajar
Dijelaskan di atas bahwa teori perkembanagn kognitif mempunyai implikasi terhadap bentuk pembelajaran untuk siswa. Terdapat beberapa teori belajar yang lain yang bisa membimbingan guru untuk melakukan pembelajaran dengan pendekatan lain.
Ada tiga pendekatan : teori pemrosesan informasi, teori behavior, dan teori kognisi sosial.namun hanya dibahas sedikit saja dan hanya sebagian.
Teori belajar behavior berakar pada hasil kerja ivan pavlov. Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Urutan kejadian melalui percobaan terhadap anjing:
1. US (unconditioned stimulus) = stimulus asli atau netral:
Stimulus tidak dikondisikan yaitu stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.
2. UR (unconditioned respons): disebut perilaku responden (respondent behavior) respon tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, yaitu air liur anjing keluar karen anjing melihat daging.
3. CS (conditioning stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat langsung menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan US secara terus-menerus agar menimbulkan respon. Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan dengan daging.
4. CR (conditioning respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang muncul dengan hadirnya CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing mendengar bel.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasan dapat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami (UCS = Unconditional Stimulus = Stimulus yang tidak dikondisikan) dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan (CS = Conditional Stimulus = Stimulus yang dikondisikan). Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Penerapan teori Pavlov dalam pembelajaran , misalnya seorang siswa bernama Maya pertama kali masuk sekolah guru menerimanya dengan senyuman dan pujian. Belum dua minggu berlalu Maya minta diantarkan ke sekolah lebih pagi sambil berkata pada ibunya bahwa ia akan menjadi guru jika besar nanti. Dari fragmen di atas melukiskan adanya belajar responden dimana senyum dan pujian guru dapat ditafsirkan sebagai stimulus tidak terkondisi. Tinadakan guru ini menimbulkan sesuatu dalam diri Maya yaitu suatu perasaan yang menyenangkan yang dapat ditafsirkan sebagai respon tak terkondisi guru dan sekolah yang sebelumnya itu netral, yaitu stimulus terkondisi, terasosiasi dengan stimulus tak terkondisi dan segera menimbulkan perasaan menyenangkan yang sama.
Teori yang belajar behavior yang lain merupakan hasil kerja dari Skinner, teorinya dikenal sebagai teori pengkondisian operan. Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses penguatan perilaku operasn (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Skinner mengeksplorasi hubungan antara reinforcment dan perkembangan perilaku belajar. Skinner menemukan bahwa peilaku yang secara sukarela dilakukan, namun tidak dipelajari disebut dengan operan, akan diikuti dengan efek yang menyenangkan disebut dengan reinforcement.
Manajemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku (behavior modification) antara lain dengan proses penguatan (reinforcement) yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat.
Perilaku operan adalah perilaku yang dipancarkan secara spontan dan bebas Skinner membuat eksperiment sebagai berikut: dalam laboratorium. Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut”Skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat pembeli makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik.
Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping.
Unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.
Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dan lain-lain), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujuim bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, juara 1 dan sebagainya).
Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda / tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dan lain-lain).
Beberapa prinsip belajar Skinner antara lain:
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
5. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwalvariable rasio reinforcer.
7. Dalam pembelajaran, digunakan shaping.
Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori, Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendiskripsikan siswa menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verba maupun fisik seperti : kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.
Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi di dalam situasi pendidikan seperti penggunaan rangking juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran. Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampun yang diperlihatkan sehingga dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang ditunjukkan para siswa; misalnya: penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika, menyanyi, menari, atau olahraga.
3. Metakognisi
ada beberapa pandangan kontemporer tentang perkembangan kognitif yang penting khusus untuk remaja yang berhubungan dengan cara otak mengatur informasi secara sistematis melalui pembelajaran. sejumlah pandangan ini dipaparkan sebagaio berikut.
a. Apa itu Metakognisi?
Untuk belajar secara efektif, pelajar membutuhkan pengetahuan tentang bagaimana memonitor sumber daya kognitif yang kita sebut metakognisi, dan bagaimana mereka belajar, disebut metalearning (Flavell 1976, 1985; Lutz & Sternberg 1999).
Menurut Suherman et.al. (2001 : 95), metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognitif adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan : “Apa yang saya kerjakan ?”; “Mengapa saya mengerjakan ini?”; “Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini?”.
Flavel (Jonassen, 2000 : 14) memberikan definisi metakognitif sebagai kesadaran seseorang tentang bagaimana ia belajar, kemampuan untuk menilai kesukaran sesuatu masalah, kemampuan untuk mengamati tingkat pemahaman dirinya, kemampuan menggunakan berbagai informasi untuk mencapai tujuan, dan kemampuan menilai kemajuan belajar sendiri. Sementara menurut Margaret W. Matlin (Desmita, 2006 : 137), metakognitif adalah “knowledge and awareness about cognitive processes – or our thought about thinking”.
Jadi metakognitif adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.
Diyakini bahwa pengetahuan metakognitif muncul sejak dini dan terus berkembang setidaknya sampai masa akhir remaja. orang dewasa, karena pengalaman mereka yang lebih besar, cenderung memiliki pengetahuan lebih tentang kognisi mereka sendiri daripada orang muda, dan juga dapat menggambarkannya lebih baik. Namun anak-anak enam tahun dapat mencerminkan dengan akurasi pemikiran mereka sendiri, terutama ketika diminta untuk melakukannya dengan bahan yang akrab (Schraw & Moshman 1995).
b. Apakah pelatihan metakognitif meningkatkan pembelajaran siswa?
Penelitian yang cukup besar telah diarahkan pada pemahaman proses metalearning dan metakognitif dalam kelas serta bagaimana proses ini dapat meningkatkan pembelajaran (Pressley dan woloshyn 1995; 1997 Winne). Siswa mengembangkan beberapa strategi metakognitif dan self-regulating sebagai bagian normal dari pembelajaran mereka sendiri dan, melalui orang lain mengamati, belajar sebagai pengganti dari instruksi yang eksplisit (lihat, sebagai contoh, Winne 1997). Namun, sementara strategi ini mungkin efektif, mereka mungkin juga terbatas dan salah. Oleh sebab itu, instruksi yang eksplisit dalam menggunakan strategi dengan umpan balik yang sesuai dalam banyak kasus, akan meningkatkan belajar siswa dan juga memungkinkan siswa untuk mengembangkan lebih lanjut strategi repertoar mereka. Strategi instruksi bisa dimulai pada tahun-tahun terakhir sekolah dasar.
Beberapa teknik sederhana untuk mengembangkan pengembangan keterampilan metakognitif yang harus didorong pada peserta didik adalah:
• mengajukan pertanyaan tentang proses;
• merefleksikan pembelajaran mereka;
• pemecahan masalah dengan berpikir keras;
• fleksibel dalam pendekatan mereka untuk belajar;
• mengembangkan rencana pembelajaran;
• belajar untuk meringkas.
Dengan mempertimbangkan apa yang Anda ketahui tentang perkembangan kognitif anak-anak, pertimbangkan apa usia siswa dapat diperkenalkan kepada keterampilan kognitif yang tercantum di atas.
Bagaimana kemampuan berpikir instruksi akan disajikan? Dua pendekatan dasar yang mungkin. Pendukung keterampilan / pendekatan strategi berpendapat bahwa itu adalah sulit bagi sebagian besar siswa, dan terutama bagi siswa yang berprestasi rendah, untuk mempelajari konten yang kompleks dan keterampilan pada saat yang sama. Oleh karena pendekatan ini memberikan instruksi yang eksplisit tentang strategi dan keterampilan sebagai kursus tambahan dengan beberapa upaya untuk mentransfer pembelajaran ke daerah konten.
Di sisi lain, yang lain berpendapat bahwa harus ada fokus ganda pada konten dan keterampilan. Fokus utama harus tujuan konten, diajarkan oleh guru konten, tetapi didukung oleh khasanah strategi khusus yang akan membantu siswa belajar isi baru (Idol & Jones 1991). Dari perspektif saya, pendekatan kedua tampaknya lebih sesuai untuk digunakan dalam kelas reguler.
Beberapa penulis berpendapat bahwa, karena penelitian menunjukkan kebanyakan anak mampu berteori tentang kognisi mereka sendiri pada usia empat tahun, dan dapat menggunakan teori-teori ini untuk mengatur kinerja mereka, adalah wajar untuk tempat beberapa derajat penekanan pada pelatihan metakognitif dari waktu anak-anak masuk sekolah, terlepas dari tingkat keterampilan dasar mereka (Schraw & Moshman 1995). Dari sudut pandang ini, sekolah harus secara aktif mempromosikan pengembangan keterampilan metakognitif antara siswa semua.
c. Kognitif Dan Meletakan Belajar
Dalam banyak diskusi kita tentang Piaget, kami berkonsentrasi pada sebuah teori perkembangan kognitif yang, dalam arti, memisahkan perkembangan struktur kognitif dari konten mereka dan situasi, dan menekankan pembangunan individu belajar. Dengan demikian, pendekatan ini menyediakan kami dengan informasi tentang cara-cara yang terstruktur dan pengetahuan adalah proses kognitif dimana belajar baru bisa diperoleh. Pendekatan kognitif juga memberikan kami informasi mengenai jenis-jenis pengalaman belajar yang akan memimpin untuk perolehan pengetahuan baru dan keterampilan terbaik (Anderson et al 2000.).
Pendekatan kognitif alternatif disebut sebagai meletakan belajar/Situated learning (atau terletak kognisi). Pendukung menekankan pembelajaran terletak bahwa banyak dari apa yang kita pelajari lebih bersifat sosial, konteks-terikat dan terkait dengan situasi tertentu di mana dipelajari (Greeno 1997; Putnam & Borko 2000; Rogoff 1995).
Adalah umum untuk menemukan contoh individu menggunakan keterampilan dan pengetahuan untuk memecahkan kehidupan nyata pada situasi tertentu, sementara tidak dapat menggunakan operasi yang sama dalam konteks yang berbasis kelas. Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan bahwa PKL dapat menggunakan matematika yang cukup rumit untuk bekerja di luar jumlah sementara menunjukkan pengetahuan formal sedikit matematika. Untuk alasan ini, beberapa peneliti menunjukkan bahwa belajar adalah paling efektif bila dalam konteks yang situasional, dan bahwa “nyata” belajar adalah suatu bentuk magang di mana anggota baru menjadi enculturated ke dalam, kebiasaan bahasa dan kepercayaan dari Sebuah aspek penting dari meletakan belajar/situated learning, kegiatan pembelajaran di kelas harus otentik-yaitu, mirip dengan apa yang dunia nyata praktisi melakukan-atau setidaknya bahwa mereka harus mengembangkan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah yang akan berguna dalam out-of- kegiatan sekolah (lihat Putnam & Borko 2000).
d. Distribusi Kognitif
Pengembangan dari ide kognisi terletak adalah gagasan tentang terdistribusinya kognisi. Seperti disebutkan di atas, pendekatan belajar terletak bergerak menjauh dari keyakinan bahwa belajar dan berpikir adalah proses individu sebagian besar mempertimbangkan mereka sebagai proses tertanam dalam interaksi sosial. Oleh karena itu situative percaya teori kognisi yang didistribusikan atau ‘terbentang atas’ yang lain masing-masing orang, dan berbagai artefak seperti alat-alat fisik dan simbolik (Putnam & Borko 2000).
Ada banyak dalam situasi kehidupan nyata dimana jelas bahwa kesadaran (atau pengetahuan) didistribusikan di seluruh kelompok sehingga kelompok dapat berfungsi secara efektif (lihat, sebagai contoh, Hutchins 1990, dikutip dalam Putnam & Borko 2000). Dalam setiap organisasi besar seperti kompleks pabrik atau badan usaha, tidak ada individu yang memegang pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk fungsi efektif organisasi. Distribusi kognisi seluruh orang dan alat-alat (misalnya komputer dan mesin) memungkinkan para pekerja untuk menyelesaikan tugas-tugas di luar kemampuan setiap anggota staf individu.
e. Perbedaan sex dalam perkembangan kognitif, belajar dan prestasi.
Ada perbedaan prestasi sekolah penting antara anak laki-laki dan perempuan, meskipun selama beberapa tahun terakhir kesenjangan telah menutup. Di antara perhatian utama adalah jumlah yang tidak proporsional laki-laki ditempatkan di pengaturan pendidikan khusus, dan tingkat pencapaian yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam bahasa, matematika dan ilmu pengetahuan (partycularly ilmu-ilmu fisika) (kebun istana 1993; Beal 1999; burkam, lee & smerdoon 1997; fennema dan Paterson 1987; Halpern 7 lamay 2000; Kahle et al.1993; 1998 kleinfled)
Walaupun ada perbedaan jenis kelamin tidak ada dalam kecerdasan umum sebagaimana diukur dengan tes kecerdasan standar seperti Stanford Binet-atau-WAIS 111, ada perbedaan banyak subset uji ini yang mencerminkan perbedaan dalam tingkat prestasi yang disebutkan di atas. Sering dikutip Perbedaan yang utama antara pria dan wanita adalah kemampuan untuk mengubah sebuah citra visual-spasial dalam bekerja umumnya memory. Pada umumnya perform laki-laki lebih baik pada jenis tugasnya (Halpern & lamay perbedaan spasial 2000. ini antara pria dan wanita muncul pada awal kehidupan, dan anak tampaknya lebih dipengaruhi genetik dari lingkungan). Laki-laki juga tampak lebih baik untuk test dari matematika dan kemampuan ilmiah dan 1997. meskipun perempuan yang muncul untuk berbuat lebih baik di dalam kelas dan tingkat (Beal 1999; Burkam, Lee & Smerdon. ini mungkin berhubungan dengan kekuatan spasial visual laki-laki,. Hal ini mungkin bahwa laki-laki lebih mampu mengambil fakta-fakta matematika dalam tes daripada perempuan tetapi alasan untuk hal ini adalah belum jelas (Beal 1999).
Ada sejumlah besar penjelasan lain untuk perbedaan gender dalam matematika dan ilmu pengetahuan, termasuk yang perempuan menggunakan strategi lebih konkrit dari anak laki-laki, dan bahwa hal ini dapat menyebabkan pemahaman yang kurang ide-ide penting yang lebih lanjut pembelajaran matematika dan sains didasarkan (Burkam, Lee & Smerdon 1997; Sowder 1998); dan guru (Burkam, Lee & 1997 Smerdon; Hyde & Jaffee 1998); kurangnya minat dan arti-penting matematika dan sains untuk anak perempuan gadis stereotip matematika dan sains yang mendorong tanggapan berbeda dari anak laki-laki, (Burkam, Lee & Smerdon 1997; Noddings 1998). Di sisi lain, perempuan yang muncul memiliki tingkat kemampuan yang lebih tinggi pada berbagai tugas-tugas memori seperti mengingat kata.
Perbedaan antara pria dan wanita tampaknya terkuat dalam rentang yang lebih tinggi kemampuan, dengan perbedaan sedikit dalam rentang rata-rata (Burkam, Lee & Smerdon 1997; Halpern & LaMay 2000). Halpern & LaMay (2000) membuat titik menarik yang mungkin dari perbedaan jenis kelamin yang ditemukan di laboratorium tercermin di dunia nyata. Misalnya, ketika laki-laki dan perempuan memberikan arah, laki-laki lebih cenderung menggunakan-selatan-timur-barat arah utara, dan lebih akurat dengan strategi ini relasional. Wanita, di sisi lain, lebih mungkin untuk menggunakan tengara dan arah kiri-kanan.


Sumber :  http://bkpemula.wordpress.com/2012/04/11/perkembangan-kognitif-dari-masa-remaja-ke-dewasa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar