Sabtu, 30 Juni 2012

Psikoterapi Part XV

PSIKOTERAPI


Aku bukan manusia sempurna
Aku hidup dengan sejuta masalah
Aku tak mengerti bagaimana mencari jalan keluar
Aku takut terperangkap dalam ruang gelap tak berpenghuni

Apa?
Mengapa?
Bagaimana?
Sulit aku mengerti hidup

Harus kemana kucari jalan keluar?
Aku ingin baik
Aku ingin mengerti
Aku ingin memahami

Sulit. sukar bagiku
Ingin menjerit
Ingin lari
Aku tau jawabannya adalah psikoterapi

No health without mental health
Help me, help us
Aku percaya inilah jawaban
Psikoterapi


Karya : Talita Zulmy 

Psikoterapi Part XIV

Psikoterapi Individual

TERAPI JENIS INDIVIDUAL
Psikoterapi Jenis Suportif
Tujuan psikoterapi jenis ini ialah :
  1. Menguatkan daya tahan mental yang ada
  2. Mengembangkan mekanisme yang baru dan yang lebih baik untuk mempertahankan kontrol diri
  3. Mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri)
Cara-cara psikoterapi suportif antara lain ialah sebagai berikut :
v     Ventilasi atau (psiko-) katarsis
v     Persuasi atau bujukan (“persuasion”)
v     Sugesti
v     Penjaminan kembali (“reassurance”)
v     Bimbingan dan penyuluhan
v     Terapi kerja
v     Hipnoterapi dan narkoterapi
v     Psikoterapi kelompok
v     Terapi perilaku
Psikoterapi wawasan (atau genetik dinamik) (insight psychotherapy) dibagi menjadi psikoterapi reedukatif dan psiktoerapi rekonstruktif.
Psikoterapi reedukatif :
Untuk mencapai pengertian tentang konflik-konflik yang letaknya lebih banyak di alam sadar, dengan usaha berencana untuk menyesuaikan diri kembali, memodifikasikan tujuan dan membangkitkan serta mempergunakan potensi kreatif yang ada. 2
Cara-cara psikoterapi reedukatif antara lain ialah sebagai berikut:
  1. Terapi hubungan antar manusia (relationship therapy)
  2. Terapi sikap (attitude therapy)
  3. Terapi wawancara (interview therapy)
  4. Analisa dan sinthesa yang distributif (terapi psikobiologik Adolf Meyer)
  5. Konseling terapetik
  6. Terapi case work
  7. Reconditioning
  8. Terapi kelompok yang reedukatif
  9. Terapi somatik
Psikoterapi rekonstruktif
Untuk mencapai pengertian tentang konflik-konflik yang letaknya di alam tak sadar, dengan usaha untuk mendapatkan perubahan yang luas daripada struktur kepribadian dan perluasan daripada pertumbuhan kepribadian dengan pengembangan potensi penyesuaian diri yang baru.
Cara-cara psikoterapi rekonstruktif antara lain ialah sebagai berikut :
  1. Psikoanalisa Freud
  2. Psikoanalisa non Freudian
  3. Psikoterapi yang berorientasi kepada psikoanalysa.
Cara :       Asosiasi bebas, analisa mimpi, hipnoanalisa/sintesa,   narkoterapi, terapi main, terapi seni, terapi kelompok analitik.




Sumber  :  http://sabariannugraha.wordpress.com/psikoterapi/psikoterapi-individual/

Psikoterapi Part XIII

Terapi Kelompok

Terapi Kelompok atau psikoterapi kelompok (group psychotherapy) adalah suatu bentuk terapi (psikoterapi) yang dilaksanakan pada kelompok yang terlindungi dan terorganisasi secara formal dan diperhitungkan serta bertujuan untuk perbaikan kepribadian dan perilaku anggota kelompok melalui interaksi kelompok.
Ada beberapa terapis yang mengatakan bahwa terapi kelompok dianggap lebih ampuh dari psikoterapi individual.
Kriteria keberhasilan terapi kelompok secara esensial sama dengan psikoterapi, yaitu melerai distres, menggalakkan harga diri, insight, dan memperbaiki prilaku serta hubungan sosial. Dalam terapi kelompok sering timbulnya insight lebih efektif. “Melihat diri kita, seperti orang lain melihat kita”. Keberhasilan itu tergantung sebagian besar pada diri terapis dan pemilihan kelompok.
Secara ekonomik terapi kelompok lebih murah daripada psikoterapi individual. Disamping itu ada beberapa keuntungan lain yang didapat dari terapi kelompok dibanding psikoterapi individual, yaitu terutama dalam proses timbulnya “insight”, “realitiy testing ability”, dalam memperbaiki fungsi-fungsi kognitif dan afektif, identifikasi diri, penyaluran emosi, serta meningkatkan keterampilan hubungan sosial yang penting untuk proses integrasi sosial individu dalam masyarakat nantinya. Semua itu memang merupakan hal-hal yang ingin dicapai dalam terapi kelompok yang merupakan “terapi psikososial”.


Sumber   :  http://frmnrdhn.wordpress.com/2009/10/06/terapi-kelompok/

Psikoterapi Part XII

Psikoterapi merupakan jenis pengobatan kedokteran untuk menangani gangguan mental emosional. Caranya dengan mengubah pola pikiran, perasaan dan perilaku penderita agar terjadi keseimbangan diri penderita.

Tujuan dari psikoterapi adalah untuk menguatkan daya tahan mental pasien, mengembangkan mekanisme daya tahan mental yang baru, dan meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan.

Psikoterapi ditujukan bagi penanganan semua jenis gangguan jiwa seperti depresi, panik, gelisah, dan gangguan jiwa lain.

Jenis
Psikoterapi memiliki beberapa jenis yang disesuakan dengan kondisi pasien. Beberapa jenis tersebut, antara lain:
1. Ventilasi
Psikoterapi ini memebrikan kebebasan kepada pasien untuk mengemukakan isi hatinya. Dengan demikian pasien merasa lega dan keluhannya berkurang.

2. Pesuasi
Psikoterapi jenis ini dilakukan dengan menerangkan secara masuk akal tentang gejala ayng timbul akibat cara berpikir terhadap masalah yang dihadapi. Terapi ini membangun mental pasien, serta meyakinkan pasien dengan alasan yang masuk akal bahwa gejalanya akan hilang.

3. Psikoterapi reassurance
Psikoterapi jenis ini berusaha meyakinkan kembali kemapuan pasien untuk menghadapi masalahnya.

4. Psikoterapi sugestif
Psikoterapi ini menanamkan kepercayaan pada pasien bahwa gangguannya akan hilang.

5. Bimbingan
Psikoterapi ini diberikan dengan penuh wibawa dan pengertian. Caranya dengan memberikan nasehat kepada pasien.

6. Penyuluhan
Penyuluhan akan membantu pasien untuk memahami dirinya secara lebih baik.

Penerapan
Psikoterapi dapat diterapkan pada gangguan psikotik, gangguan somatis, dan gangguan penyesuaian.


Sumber  :  http://health.detik.com/read/2009/07/17/141957/1167103/770/psikoterapi-suportif

Psikoterapi Part XI

Ketentuan Pemerintah tentang Bimbingan dan Konseling

Didalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling disekolah pemerintah mengelurakan beberapa peraturan baik yang berdasarkan Undang-undang atau permen tentang penyelengaraan layanan bimbingan dan konseling disekolah. Antara laian sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana dalam UU sisdiknas disampaikan pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dan menegaskan bahwa konselor adalah pendidik. Selain itu dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa paradigm pembiasaan yang harus dibangun adalah pemberian keteladanan, pembangunan kemauan dan pengembangan kreativitas dalam konteks kehidupan sosial kultural sekolah. Dan Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana.
2. UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen yang secara eksplisit menekankan perlunya profesionalisme kedua jenis pendidikan itu. Dalam undang-undang ini konselor belum diposisikan, kecuali hanya disebutkan kembali sehubungan dengan jenis-jenis tenaga pendidik.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan, mengamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan harus menyusun kurikulum yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP. Pada penerapan KTSP, Guru Bimbingan Konseling di sekolah memberikan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam memfasilitasi “Pengembangan Diri” siswa sesuai minat, bakat serta mempertimbangkan tahapan tugas perkembangannya. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar isi, standar proses, standar kompetensi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.
4. Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yang didalamnya memuat struktur kurikulum, telah mempertajam perlunya disusun dan dilaksanakannya program pengembangan diri yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.
5. Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses pendidikan dimana setiap sekolah dasar dan menengah harus mengadakan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan ppengawasan proses pembelajaran.
6. Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 dirumuskan SKL yang harus dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran bidang studi, maka kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling adalah kompetensi kemandirian untuk mewujudkan diri (self actualization) dan pengembangan kapasitasnya (capacity development) yag dapat mendukung pencapaian kompetensi lulusan. Sebaliknya, kesuksesan peserta didik dalam mencapai SKL akan secara signifikan menunjang terwujudnya pengembangan kemandirian.
7. Permendiknas 27 tahun 2008 Tentang standar kulaifikasi akademik dan kopetensi konselor. Setiap satuan pendidikan wajib mempekerjakan konselor yang memiliki standar kualifikasi akademik dan kopetensi konselor yang berlaku secara nasional.
8. Peremendiknas no 24 tahun 2007 Tentang standar sarana prasarana dimana disebutkan sekolah secara standar sarana prasarana harus memiliki ruang konseling dengan luas minimum 9 M persegi.
9. Permendiknas no 19 tahun 2007. Tentang standar pengelolaan dimana sekolah harus memiliki rencana kerja sekolah (RKS). Yang disana terdapat program pengembangan diri yang mencakup tugas pelayanan bimbingan dan konseling
10. PP no 48 tahun 2008 Tentang standar pembiayaan pendidikan. Tentang standar pembiayaan pelaksanaan bimbingan dan konseling
11. Permendiknas no 20 tahun 2007 Tentang standar penilaian pendidikan. Tentang standar pelaksanaan penilaian di dalam pendidikan dimana konselor juga merupakan pendidik.
12. Permendiknas No. 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/ Madrasah yang mengisyaratkan adanya pembinaan dari pengawas terhadap layanan bimbingan dan konseling.
13. PP No. 74 Tahun 2008 Tentang Guru, yang mencantumkan beban kerja guru bimbingan dan konseling / konselor.
14. Permendiknas No. 16 Tahun 2009, tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya .yang menyebutkan konselor juga sebagai guru, menangani 150 siswa dan tugas guru BK.



Sumber :  http://bkpemula.wordpress.com/2012/05/30/ketentuan-pemerintah-tentang-bimbingan-dan-konseling/

Psikoterapi Part X

PERKEMBANGAN KOGNITIF : DARI MASA REMAJA KE DEWASA

1. Piaget Dan Kognisi Orang Dewasa
a. Tahap Operasional Formal
Pada masa dewasa, menurut piaget Tahap perkembangan kognitif berada pada masa operasional formal, pada masa ini sudah muncul kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan scientifik. Seorang pada tahap operasional formal sudah mampu untuk menyatukan sistem logika yang dapat digunakan untuk mengeksplore secara sistematis situasi yang hipotesis dan hubungan yang abstrak. (Mc inerney, 2006). Lebih lanjut menurut Papalia (2008) pemikiran remaja pada tahap operasional formal tidak lagi terbatas pada saat ini dan sekarang, namun mereka sudah mulai dapat memahami waktu historis dan ruang luar angkasa, mampu berpikir jauh ke depan, membuat rencana dan strategi untuk mencapainya. Mereka sudah mulai dapat menggunakan simbol untuk menyimbol, mereka sudah memahami metafora dan alegori sehingga mereka dapat menemukan makna di balik literatur.
Kemampuan sentral yang dimiliki anak/remaja pada tahap operasional formal dinamakan dengan kemampuan berpikir hipotesis yakni kemampuan individu untuk mengajukan hipotesis dan mengujinya, untuk berpikir secara proposional, memperhitungkan segala kemungkinan atau kombinasi masalah tanpa terlebih dahulu melihat referensi atau realita fisik. Piage mendeskripsikan pikiran orang pada tahap operasional formal dengan “hypothetico deductive” karena remaja pada tahap ini sudah mampu untuk mengembangkan hipotesis dan mendesain sebuah eksperimen untuk membuktikannya. Sudah mampu mendesain dan mempertimbangkan semua hubungan yang dapat dibayangkannya dan meneliti itu semua secara sistematis, satu persatu, dan mencari yang dianggap benar.
Menurut Piaget elemen dari pemikiran operasioanl formal pada orang dewasa adalah sebagai berikut:
1. Kombinatoris Logis
Selama tahap operasional formal, individu memperoleh kemampuan untuk mengkombinasikan elemen yang berbeda dari masalah secara sistematis untuk menguji hipotesis. Kemampuan ini mirip dengan kemampuan trial and error pada tahap sebelumnya, namun bedanya kemampuan Kombinatoris Logis pada tahap operasional formal memiliki dasar teoretis dan hipotesis yang pasti.
Contohnya adalah ketika ada cairan dengan warna yang berbeda berada dalam tabung, kemudian dua anak diminta untuk mencari hasil kombinasi pencampuran warna, maka anak yang sudah masuk tahap operasional formal akan terlebih dulu secara teoretis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang tercipta, kemudia secara sistematis akan mencoba setiap sel matriks tersebut secara empiris, bila dia menemukan penyelesaian dengan betul maka dia akan mencoba untuk memproduksinya kembali serta kemudian mampu membuat suatu analisis dan kesimpulan. Sedangkan anak pada tahap operasional kongkrit mencoba mengkombinasikannya hanya secara trial and error tanpa dilandasi hipotesis dan tindakan empiris.
2. Berpikir Proposisional
Pada tahap ini remaja sudah memiliki kapasitas berpikir secara proposisional, yang tentunya sudah melebihi kemampuan preposisional anak tahap preoperasional dan operasional kongkrit. Remaja telah dapat memberikan statement atau proporsi berdasarkan pada data yang kongkret. Tetapi kadang-kadang ia berhadapan dengan proposi yang bertentangan dengan fakta. Remaja pada tahap ini sudah mampu untuk mengolah kalimat argumen dalam pikrannya.
3. Proportional reasoning
Anak pada tahap operasional formal sudah mampu untuk melakukan Penalaran secara proporsional. Mereka mampu untuk mengaplikasikan konsep rasio dan proporsi untuk menyelesaikan masalah. Misalnya jika seorang siswa diminta untuk m enggambar peta suatu daerah dengan skala 1: 1000, maka anak pada tahap operasional formal sudah mampu untuk menghitung berapa luas daerah yang harus ia gambar di buku tugasnya.
4. Hypothetical reasoning
Anak pada tahap operasioanal formal sudah mampu untuk melakukan penalaran hipotesis, mereka sudah mampu untuk mengabstrkasikan sebuah struktur struktur dari argumen dan membuat sebuah hipotesis atas isi argumen tersebut. Contohnya dalam sebuah debat, tema dapat dibuat dengan sebuah tema pengandaian semacam “bagaimana jika seandainya seluruh orang di dunia ini dalam 1 bulan akan bertambah berat badannya menjadi dua kali lipat?”
Dengan kemampuan tersebut diatas yaitu kombinatoris logis, berpikir proposisional, penalaran proporsional, dan penalaran hipotesis seseorang pada tahap operasioanl formal akan mampu berpikir lebih pintar dalam hal matematika, sejarah, sains, dan lainnya.
Namun pada kenyataannya tidak semua remaja dan orang dewasa mampu untuk berpikir sesuai dengan keadaan pada tahap operasional formal, mereka lebih banyak berpikir secara asosiatif daripada secara logis. Kemampuan ini menurut Lutz dan sternberg lebih dipengaruhi oleh pengalaman ketimbang oleh maturity (kematangan). Implikasinya sebagai guru tidak boleh mengasumsikan semua siswanya berpikir operasional formal, lebih jauh lagi menurut beberapa penelitian ditemukan bahwa kemampuan berpikir abstrak dimiliki oleh jumlah remaja dan orang dewasa yang terbatas. Sehingga ada dua hal yang penting dalam hal ini yaitu; (a). Tingkat kematangan kognisi (b). Dan tantangan yang spesifik untuk praktek bagi tahapan berpikir operasioanl formal. Jika seseorang tidak ditantang untuk berpikir formal, maka cara berpikir ini juga tidak bakal digunakan.
b. Kritik dari tes piaget
Dalam teori piaget yang dimaksud dengan tes atau aktivitas menalar digunakan untuk membedakan tingkat dari fungsi berpikir dan mengindikasikan tahap perkembangan yang sedang dilalui anak.
Test menjadi subjek kritik, dimana para peneliti menilai bahwa bentuk dari test tidak memadai (berkaitan dengan bahasa yang digunakan, relevansi pertanyaan) para peneliti percaya terutama pada bias bahasa dalam artian terlalu under estimate terhadap kemampuan kognitif anak.
Lebih lanjut kritik juga berkaitan dengan kerangka penggunaan bahasa dalam tes percakapan, anak kecil jelas-jelas tidak mampu untuk mencerna, karena ada perbedaan penggunaan bahasa pada anak dan orang dewasa.
Kebanyakan ahli psikologi sepenuhnya menerima prinsip-prinsip umum Piaget bahwa pemikiran anak-anak pada dasarnya berbeda dengan pemikiran orang dewasa, dan jenis logika anak-anak itu berubah seiring dengan bertambahnya usia. Namun, ada juga peneliti yang meributkan detail-detail penemuan Piaget, terutama mengenai usia ketika anak mampu menyelesaikan tugas-tugas spesifik.
Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa anak-anak baru mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di atas 6 bulan. Balillargeon dan De Vos (1991) ; 104 anak diamati sampai mereka berusia 18 tahun, dan diuji dengan berbagai tugas operasional formal berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk pengujian hipotesa. Mayoritas anak-anak itu memang belum mencapai tahap operasional formal. Hal ini sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donaldson serta Baillargeon dan DeVos, yang menyatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan kemampuan anak-anak kecil dan terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang lebih tua.
c. Implikasi terhadap Lintas Budaya
Banyak teori piaget tentang perkembangan kognitif yang didasarkan pengelolaan persepsi, pemrosesan adaptasi, akomodasi dan asimilasi. Terdapat banyak fakta dari penelitian lintas budaya dan antropologi bahwa cara seseorang untuk merasa, menstruktur, menginterpretasi, dan berhubungan dengan dunianya merupakan fungsi dari pengalaman fisik dan sosial. Konsekuensinya karena teori piaget banyak didasarkan pada persepsi, sangat mungkin jika tidak tepat diterapkan pada budaya yang berbeda. Sehingga sangat dihimbau bagi guru untuk tidak menyimpulkan tahap perkembangan ini dalam seting yang berbeda tanpa memperhitungkan pengalaman terlebih dulu.
d. Status teori Piaget Saat Ini
Banyak orang yang bertentangan terhadap teori piaget percaya bahwa teorinya tidak cukup representatif menjelaskan bagaimana seorang anak dapat bertambah pintar pemikirannya.
2. Pemikiran Lebih lanjut Pada Vygotsky
Cara seorang anak untuk merespon terhadap sekolah dan mendapat manfaat dari pengalaman yang dihadirkan merefleksikan pengalaman budaya dimana anak bersosialisaasi. Perkembangan kognitif anak terbentuk dari sejarah pribadi dan budaya yang berhubungan dengan gender, kelas, ras, keluarga, dan regulasi diri atas nilai yang berarti. Nilai aktivitas yang bernilai menurut pribadi itu akan diterapkan pada lingkungan yang lebih luas yakni lingkungan sosial, politik, dan budaya, yang nantinya akan mendefinisikan mana yang berterima, dan mana yang bernilai dalam konteks yang lebih luas. Dalam konteks yang berbeda ini, individu dan kelompok berusaha untuk memenuhi identitas diri mereka dengan berpartisipasi dalam kegiatan yang mengembangkan keterampilan dan disposisi yang diperlukan untuk unggul dalam lingkungan budaya mereka.
Ras, gender dan jangkauan label yang lain seperti “berbakat” dan “berkebutuhan khusus” meningkat dipandang bukan sebagai karakteristik yang melekat pada seseorang, namun lebih pada faktor kontruksi sosial. Dengan kat lain, identitas diri muncul untuk mengembangkan tugas, hubungan sosial, dan konteks sosial dimana individu belajar didalamnya. Makna belajar dari perspektif ini berarti proses dimana kita menjadi satu dengan melalui aktivitas kolaboratif bersama orang lain dengan memakai alat, bahasa, dan organisasi sosial dari kelompok.
Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana individu dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental individu. Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental individu menjadi matang.
Pandangan kontruktivis dari perkembangan kognitif ini( elemen sosio kultural) mempunyai implikasi yang signifikan dalam memahami perbedaan budaya dan fungsi pendidik di dalam seting lingkungan yang berbeda. Siswa satu sama lain mempunyai cara, bahasa yang berbeda, sehingga pendidikan yang efektif harus mampu meletakkan pembelajaran dalam konteks sosial dan konteks budaya yang tepat.
a. Budaya dan Zona Proximal Development
Bahasa dan bentuk percakapan, dan tingkat familioeritas dan ketidakfamilieran siswa terhadap berbagai macam adat misalnya cara bertanya, atau komputer di dalam lingkugan sekolah haru sdipertimbangkan oleh guru jika guru ingin menjadikan pndidikan relevan. Guru butuh untuk membangun pengalaman siswa untuk meningkatkan perkembangan akademik dan perkembangan sosial siswa. Jadi pendidikan yang efektif menurut pendapat vygotsky harus disituasikan dalam kerangka zone of proximal development individu.
Secara umum praktek sekolah konsisten dengan bagaimana mainstrem siswa bersosialisasi dalam lingkungan budaya rumah dan dengan pilihan belajar dan penguatan yang dikembangkan siswa. Pengajaran yang efektif menuntut guru agar mau membuat hubungan antara budaya rumah dan praktek di kelas, meskipun siswa bukanlah anggota yang memiliki mainstrem budaya yang sama.
Perspektif vygotsky sangat dipengaruhi oleh ide pendidik untuk mendidik secara efektif dalam seting udaya. Lingkungan pergaulan sosiokultur belajar berpengaruh terhadap beberapa hal berikut:
- Cara seseorang belajar
- Nilai dan tujuan yang tepat untuk belajar
- Definisi dari pembelajaran yang bermakana
- Definisi intelegensi dan perilaku intelegensi
- Pentingnya aktivitas individu vs aktivitas kelompok
- Pengukuran dan evaluasi yang tepat.
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa anak-anak mampu melakukan sesuatu sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada anak. Aktual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah bahwa siswa belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi
b. Teori Belajar
Dijelaskan di atas bahwa teori perkembanagn kognitif mempunyai implikasi terhadap bentuk pembelajaran untuk siswa. Terdapat beberapa teori belajar yang lain yang bisa membimbingan guru untuk melakukan pembelajaran dengan pendekatan lain.
Ada tiga pendekatan : teori pemrosesan informasi, teori behavior, dan teori kognisi sosial.namun hanya dibahas sedikit saja dan hanya sebagian.
Teori belajar behavior berakar pada hasil kerja ivan pavlov. Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Urutan kejadian melalui percobaan terhadap anjing:
1. US (unconditioned stimulus) = stimulus asli atau netral:
Stimulus tidak dikondisikan yaitu stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.
2. UR (unconditioned respons): disebut perilaku responden (respondent behavior) respon tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, yaitu air liur anjing keluar karen anjing melihat daging.
3. CS (conditioning stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat langsung menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan US secara terus-menerus agar menimbulkan respon. Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan dengan daging.
4. CR (conditioning respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang muncul dengan hadirnya CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing mendengar bel.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasan dapat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami (UCS = Unconditional Stimulus = Stimulus yang tidak dikondisikan) dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan (CS = Conditional Stimulus = Stimulus yang dikondisikan). Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Penerapan teori Pavlov dalam pembelajaran , misalnya seorang siswa bernama Maya pertama kali masuk sekolah guru menerimanya dengan senyuman dan pujian. Belum dua minggu berlalu Maya minta diantarkan ke sekolah lebih pagi sambil berkata pada ibunya bahwa ia akan menjadi guru jika besar nanti. Dari fragmen di atas melukiskan adanya belajar responden dimana senyum dan pujian guru dapat ditafsirkan sebagai stimulus tidak terkondisi. Tinadakan guru ini menimbulkan sesuatu dalam diri Maya yaitu suatu perasaan yang menyenangkan yang dapat ditafsirkan sebagai respon tak terkondisi guru dan sekolah yang sebelumnya itu netral, yaitu stimulus terkondisi, terasosiasi dengan stimulus tak terkondisi dan segera menimbulkan perasaan menyenangkan yang sama.
Teori yang belajar behavior yang lain merupakan hasil kerja dari Skinner, teorinya dikenal sebagai teori pengkondisian operan. Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses penguatan perilaku operasn (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Skinner mengeksplorasi hubungan antara reinforcment dan perkembangan perilaku belajar. Skinner menemukan bahwa peilaku yang secara sukarela dilakukan, namun tidak dipelajari disebut dengan operan, akan diikuti dengan efek yang menyenangkan disebut dengan reinforcement.
Manajemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku (behavior modification) antara lain dengan proses penguatan (reinforcement) yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat.
Perilaku operan adalah perilaku yang dipancarkan secara spontan dan bebas Skinner membuat eksperiment sebagai berikut: dalam laboratorium. Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut”Skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat pembeli makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik.
Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping.
Unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.
Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan, dan lain-lain), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujuim bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, juara 1 dan sebagainya).
Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain: menunda / tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dan lain-lain).
Beberapa prinsip belajar Skinner antara lain:
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
5. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwalvariable rasio reinforcer.
7. Dalam pembelajaran, digunakan shaping.
Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori, Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendiskripsikan siswa menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verba maupun fisik seperti : kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.
Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi di dalam situasi pendidikan seperti penggunaan rangking juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran. Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampun yang diperlihatkan sehingga dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang ditunjukkan para siswa; misalnya: penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika, menyanyi, menari, atau olahraga.
3. Metakognisi
ada beberapa pandangan kontemporer tentang perkembangan kognitif yang penting khusus untuk remaja yang berhubungan dengan cara otak mengatur informasi secara sistematis melalui pembelajaran. sejumlah pandangan ini dipaparkan sebagaio berikut.
a. Apa itu Metakognisi?
Untuk belajar secara efektif, pelajar membutuhkan pengetahuan tentang bagaimana memonitor sumber daya kognitif yang kita sebut metakognisi, dan bagaimana mereka belajar, disebut metalearning (Flavell 1976, 1985; Lutz & Sternberg 1999).
Menurut Suherman et.al. (2001 : 95), metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan prilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognitif adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan : “Apa yang saya kerjakan ?”; “Mengapa saya mengerjakan ini?”; “Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini?”.
Flavel (Jonassen, 2000 : 14) memberikan definisi metakognitif sebagai kesadaran seseorang tentang bagaimana ia belajar, kemampuan untuk menilai kesukaran sesuatu masalah, kemampuan untuk mengamati tingkat pemahaman dirinya, kemampuan menggunakan berbagai informasi untuk mencapai tujuan, dan kemampuan menilai kemajuan belajar sendiri. Sementara menurut Margaret W. Matlin (Desmita, 2006 : 137), metakognitif adalah “knowledge and awareness about cognitive processes – or our thought about thinking”.
Jadi metakognitif adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas metakognitif dapat diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.
Diyakini bahwa pengetahuan metakognitif muncul sejak dini dan terus berkembang setidaknya sampai masa akhir remaja. orang dewasa, karena pengalaman mereka yang lebih besar, cenderung memiliki pengetahuan lebih tentang kognisi mereka sendiri daripada orang muda, dan juga dapat menggambarkannya lebih baik. Namun anak-anak enam tahun dapat mencerminkan dengan akurasi pemikiran mereka sendiri, terutama ketika diminta untuk melakukannya dengan bahan yang akrab (Schraw & Moshman 1995).
b. Apakah pelatihan metakognitif meningkatkan pembelajaran siswa?
Penelitian yang cukup besar telah diarahkan pada pemahaman proses metalearning dan metakognitif dalam kelas serta bagaimana proses ini dapat meningkatkan pembelajaran (Pressley dan woloshyn 1995; 1997 Winne). Siswa mengembangkan beberapa strategi metakognitif dan self-regulating sebagai bagian normal dari pembelajaran mereka sendiri dan, melalui orang lain mengamati, belajar sebagai pengganti dari instruksi yang eksplisit (lihat, sebagai contoh, Winne 1997). Namun, sementara strategi ini mungkin efektif, mereka mungkin juga terbatas dan salah. Oleh sebab itu, instruksi yang eksplisit dalam menggunakan strategi dengan umpan balik yang sesuai dalam banyak kasus, akan meningkatkan belajar siswa dan juga memungkinkan siswa untuk mengembangkan lebih lanjut strategi repertoar mereka. Strategi instruksi bisa dimulai pada tahun-tahun terakhir sekolah dasar.
Beberapa teknik sederhana untuk mengembangkan pengembangan keterampilan metakognitif yang harus didorong pada peserta didik adalah:
• mengajukan pertanyaan tentang proses;
• merefleksikan pembelajaran mereka;
• pemecahan masalah dengan berpikir keras;
• fleksibel dalam pendekatan mereka untuk belajar;
• mengembangkan rencana pembelajaran;
• belajar untuk meringkas.
Dengan mempertimbangkan apa yang Anda ketahui tentang perkembangan kognitif anak-anak, pertimbangkan apa usia siswa dapat diperkenalkan kepada keterampilan kognitif yang tercantum di atas.
Bagaimana kemampuan berpikir instruksi akan disajikan? Dua pendekatan dasar yang mungkin. Pendukung keterampilan / pendekatan strategi berpendapat bahwa itu adalah sulit bagi sebagian besar siswa, dan terutama bagi siswa yang berprestasi rendah, untuk mempelajari konten yang kompleks dan keterampilan pada saat yang sama. Oleh karena pendekatan ini memberikan instruksi yang eksplisit tentang strategi dan keterampilan sebagai kursus tambahan dengan beberapa upaya untuk mentransfer pembelajaran ke daerah konten.
Di sisi lain, yang lain berpendapat bahwa harus ada fokus ganda pada konten dan keterampilan. Fokus utama harus tujuan konten, diajarkan oleh guru konten, tetapi didukung oleh khasanah strategi khusus yang akan membantu siswa belajar isi baru (Idol & Jones 1991). Dari perspektif saya, pendekatan kedua tampaknya lebih sesuai untuk digunakan dalam kelas reguler.
Beberapa penulis berpendapat bahwa, karena penelitian menunjukkan kebanyakan anak mampu berteori tentang kognisi mereka sendiri pada usia empat tahun, dan dapat menggunakan teori-teori ini untuk mengatur kinerja mereka, adalah wajar untuk tempat beberapa derajat penekanan pada pelatihan metakognitif dari waktu anak-anak masuk sekolah, terlepas dari tingkat keterampilan dasar mereka (Schraw & Moshman 1995). Dari sudut pandang ini, sekolah harus secara aktif mempromosikan pengembangan keterampilan metakognitif antara siswa semua.
c. Kognitif Dan Meletakan Belajar
Dalam banyak diskusi kita tentang Piaget, kami berkonsentrasi pada sebuah teori perkembangan kognitif yang, dalam arti, memisahkan perkembangan struktur kognitif dari konten mereka dan situasi, dan menekankan pembangunan individu belajar. Dengan demikian, pendekatan ini menyediakan kami dengan informasi tentang cara-cara yang terstruktur dan pengetahuan adalah proses kognitif dimana belajar baru bisa diperoleh. Pendekatan kognitif juga memberikan kami informasi mengenai jenis-jenis pengalaman belajar yang akan memimpin untuk perolehan pengetahuan baru dan keterampilan terbaik (Anderson et al 2000.).
Pendekatan kognitif alternatif disebut sebagai meletakan belajar/Situated learning (atau terletak kognisi). Pendukung menekankan pembelajaran terletak bahwa banyak dari apa yang kita pelajari lebih bersifat sosial, konteks-terikat dan terkait dengan situasi tertentu di mana dipelajari (Greeno 1997; Putnam & Borko 2000; Rogoff 1995).
Adalah umum untuk menemukan contoh individu menggunakan keterampilan dan pengetahuan untuk memecahkan kehidupan nyata pada situasi tertentu, sementara tidak dapat menggunakan operasi yang sama dalam konteks yang berbasis kelas. Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan bahwa PKL dapat menggunakan matematika yang cukup rumit untuk bekerja di luar jumlah sementara menunjukkan pengetahuan formal sedikit matematika. Untuk alasan ini, beberapa peneliti menunjukkan bahwa belajar adalah paling efektif bila dalam konteks yang situasional, dan bahwa “nyata” belajar adalah suatu bentuk magang di mana anggota baru menjadi enculturated ke dalam, kebiasaan bahasa dan kepercayaan dari Sebuah aspek penting dari meletakan belajar/situated learning, kegiatan pembelajaran di kelas harus otentik-yaitu, mirip dengan apa yang dunia nyata praktisi melakukan-atau setidaknya bahwa mereka harus mengembangkan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah yang akan berguna dalam out-of- kegiatan sekolah (lihat Putnam & Borko 2000).
d. Distribusi Kognitif
Pengembangan dari ide kognisi terletak adalah gagasan tentang terdistribusinya kognisi. Seperti disebutkan di atas, pendekatan belajar terletak bergerak menjauh dari keyakinan bahwa belajar dan berpikir adalah proses individu sebagian besar mempertimbangkan mereka sebagai proses tertanam dalam interaksi sosial. Oleh karena itu situative percaya teori kognisi yang didistribusikan atau ‘terbentang atas’ yang lain masing-masing orang, dan berbagai artefak seperti alat-alat fisik dan simbolik (Putnam & Borko 2000).
Ada banyak dalam situasi kehidupan nyata dimana jelas bahwa kesadaran (atau pengetahuan) didistribusikan di seluruh kelompok sehingga kelompok dapat berfungsi secara efektif (lihat, sebagai contoh, Hutchins 1990, dikutip dalam Putnam & Borko 2000). Dalam setiap organisasi besar seperti kompleks pabrik atau badan usaha, tidak ada individu yang memegang pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk fungsi efektif organisasi. Distribusi kognisi seluruh orang dan alat-alat (misalnya komputer dan mesin) memungkinkan para pekerja untuk menyelesaikan tugas-tugas di luar kemampuan setiap anggota staf individu.
e. Perbedaan sex dalam perkembangan kognitif, belajar dan prestasi.
Ada perbedaan prestasi sekolah penting antara anak laki-laki dan perempuan, meskipun selama beberapa tahun terakhir kesenjangan telah menutup. Di antara perhatian utama adalah jumlah yang tidak proporsional laki-laki ditempatkan di pengaturan pendidikan khusus, dan tingkat pencapaian yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam bahasa, matematika dan ilmu pengetahuan (partycularly ilmu-ilmu fisika) (kebun istana 1993; Beal 1999; burkam, lee & smerdoon 1997; fennema dan Paterson 1987; Halpern 7 lamay 2000; Kahle et al.1993; 1998 kleinfled)
Walaupun ada perbedaan jenis kelamin tidak ada dalam kecerdasan umum sebagaimana diukur dengan tes kecerdasan standar seperti Stanford Binet-atau-WAIS 111, ada perbedaan banyak subset uji ini yang mencerminkan perbedaan dalam tingkat prestasi yang disebutkan di atas. Sering dikutip Perbedaan yang utama antara pria dan wanita adalah kemampuan untuk mengubah sebuah citra visual-spasial dalam bekerja umumnya memory. Pada umumnya perform laki-laki lebih baik pada jenis tugasnya (Halpern & lamay perbedaan spasial 2000. ini antara pria dan wanita muncul pada awal kehidupan, dan anak tampaknya lebih dipengaruhi genetik dari lingkungan). Laki-laki juga tampak lebih baik untuk test dari matematika dan kemampuan ilmiah dan 1997. meskipun perempuan yang muncul untuk berbuat lebih baik di dalam kelas dan tingkat (Beal 1999; Burkam, Lee & Smerdon. ini mungkin berhubungan dengan kekuatan spasial visual laki-laki,. Hal ini mungkin bahwa laki-laki lebih mampu mengambil fakta-fakta matematika dalam tes daripada perempuan tetapi alasan untuk hal ini adalah belum jelas (Beal 1999).
Ada sejumlah besar penjelasan lain untuk perbedaan gender dalam matematika dan ilmu pengetahuan, termasuk yang perempuan menggunakan strategi lebih konkrit dari anak laki-laki, dan bahwa hal ini dapat menyebabkan pemahaman yang kurang ide-ide penting yang lebih lanjut pembelajaran matematika dan sains didasarkan (Burkam, Lee & Smerdon 1997; Sowder 1998); dan guru (Burkam, Lee & 1997 Smerdon; Hyde & Jaffee 1998); kurangnya minat dan arti-penting matematika dan sains untuk anak perempuan gadis stereotip matematika dan sains yang mendorong tanggapan berbeda dari anak laki-laki, (Burkam, Lee & Smerdon 1997; Noddings 1998). Di sisi lain, perempuan yang muncul memiliki tingkat kemampuan yang lebih tinggi pada berbagai tugas-tugas memori seperti mengingat kata.
Perbedaan antara pria dan wanita tampaknya terkuat dalam rentang yang lebih tinggi kemampuan, dengan perbedaan sedikit dalam rentang rata-rata (Burkam, Lee & Smerdon 1997; Halpern & LaMay 2000). Halpern & LaMay (2000) membuat titik menarik yang mungkin dari perbedaan jenis kelamin yang ditemukan di laboratorium tercermin di dunia nyata. Misalnya, ketika laki-laki dan perempuan memberikan arah, laki-laki lebih cenderung menggunakan-selatan-timur-barat arah utara, dan lebih akurat dengan strategi ini relasional. Wanita, di sisi lain, lebih mungkin untuk menggunakan tengara dan arah kiri-kanan.


Sumber :  http://bkpemula.wordpress.com/2012/04/11/perkembangan-kognitif-dari-masa-remaja-ke-dewasa/

Psikoterapi Part IX

KETERAMPILAN INITIATING DALAM KONSELING


I. PEMBERIAN INISIASI DALAM MEMFASILITASI TINDAKAN KONSELI
Penginisiasian merupakan tahap kulminasi dari pemberian bantuan. Pemberian inisiasi menekankan pada memfasilitasi usaha konseli untuk bertindak dalam mencapai tujuannya. Dengan kata lain, tindakan konseli untuk mengubah atau memperoleh keberfungsian mereka. Tindakan ini didasarkan atas pemahaman mereka yang telah terpersonalisasi terhadap tujuan mereka. Hal ini difasilitasi dari inisiatif dari konselor.
Proses inisiasi (penginisiasian) mencakup penetapan tujuan, pengembangan program, perancangan jadwal serta reinforcement dan mengindividualisasian langkah-langkah. Penetapan tujuan menekankan pada pengoperasian suatu tujuan. Pengembangan program menekankan pada langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan. Perencanaan jadwal menekankan pada pelengkapan peneguhan untuk melangkah. Pengindividualisasian menekankan pada memastikan bahwa langkah-langkah tersebut berhubungan dengan bingkai referensi konseli.
II. KONDISI INTI DALAM PENGAMBILAN TINDAKAN
Walaupun penginisiasian secara luas merupakan seri tentang kegiatan mekanis yang didasarkan atas tujuan yang terpersonalisasi, konselor harus terus menerus berfungsi secara deferensial terhadap kebutuhan-kebutuhan konseli. Konselor secara terus menerus menekankan pada pemberian respon secara efektif. Setelah menjadi tambahan dalam pemberian pemahaman terhadap tujuan, konselor kembali lagi pada tingkatan yang sesuai dalam responding. Begitu pula dengan konselor yang menekankan pada pengindividualisasikan langkah-langkah dalam pencapaian tujuan. Dalam prakteknya, hal ini berarti bahwa konselor selalu melakukan pemeriksaan kembali terhadap konseli dalam pengembangan dan pelaksanaan program-progam.
Konselor perlu mengkomunikasikan penghargaan yang kondisional bagi konseli. Konselor memiliki gambaran yang jelas tentang kelebihan dan kelemahan konseli, serta meneguhkan mereka dengan tujuan untuk membantu mereka mengembangkan dan melaksanakan program-program secara efektif. Keseluruhan dalam hal ini dikondisikan dalam prilaku yang sangat murni (genuine). Karena baik konselor maupun konseli saling mengetahui dengan baik satu sama lain, maka mereka dapat berhubungan dengan bebas dan terbuka sesuka hati mereka. Akibatnya, ada suatu peningkatan yang ditekankan terhadap kekhususan dan ke konkritan dalam pengembangan dan pelaksanaan program.
III. PERSONALISASI TUJUAN
a. Penetapan tujuan
Tugas yang paling kritis dalam penginisiasian adalah penetapan tujuan. Jika tujuan dan operasionalnya telah ditetapkan, maka arah pemberian bantuan menjadi jelas. Dalam memetapkan tujuan, digunakan pula 5 kata tanya dasar dengan cara yang kreatif (What, Who, Why, When, Where, How). 5 WH tersebut digambarkan dalam lingkup pengoperasian tujuan yang unsure-unsurnya terdiri atas: komponen, fungsi, proses, kondisi dan standar. Pengoperasian ini akan menekankan seluruh unsure yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
b. Penetapan komponen-komponen
Unsur pertama dari tujuan adalah komponen. Komponen menggambarkan siapa (Who) dan apa saja (What) yang terlibat dalam suatu tujuan. Komponen-komponen tersebut bisa saja mencakup unsur-unsur seperti materi pelajaran atau isi, begitu pula guru atau siswa.
c. Penetapan fungsi-fungsi
Unsur kedua dalam penetapan tujuan adalah fungsi. Fungsi menggambarkan apa yang dilakukan seseorang atau sesuatu. Fungsi adalah kata kerja operasional yang menggambarkan suatu aktifitas. Dalam lingkup pembelajaran, fungsi dapat menekankan pada aktifitas pembelajaran tertentu, misalnya: menerina, memperoleh, mengaplikasikan dan mentrasfer materi pelajaran.
d. Penetapan proses-proses
Unsur ketiga dalam penetapan tujuan adalah proses. Proses dideskrifsikan sebagai alasan (Why) dan metode (How) bagi komponen-komponen untuk mengerjakan tugasnya. Proses berupa kalimat keterangan yang memodifikasi fungsi atau aktivitas. Dalam lingkup pembelajaran konseli mungkin perlu untuk “belajar – bagaimana-cara-belajar “ dengan tujuan melakukan cara secara efektif.
e. Penetapan kondisi-kondisi
Unsur keempat dalam penetapan tujuan adalah kondisi. Kondisi menggambarkan dimana (Where) dan kapan (When) fungsi-fungsi terjadi. Kondisi juga merupakan kalimat keterangan yang mendeskripsikan fungsi. Proses belajar konseli dapat mengambil tempatdiruangan kelas selama jam sekolah. Hal tersebut penting untuk mengkhususkan kondisi dimana fungsi terjadi, untuk memastikan kelengkapan performance.
f. Penetapan standar-standar
Unsur kelima dalam penetapan tujuan adalah standar. Standar menggambarkan sebaik apa fungsi ditampilkan. Standar juga merupakan frase keterangan yang mendeskripsikan fungsi-fungsi. Keterampilan konseli dalam belajar mungkin akan mensyaratkan kemampuan untuk mengeksplorasi, memahami dan mengambil tindakan atas tiap keterampilan untuk dipelajari. Ketrampilan konseli dalam bekerja mungkin mensyaratkan kemapuan untuk menangani masalah atau membuat keputusan secara terencana. Hal ini penting untuk menjadi sangat spesifik dalam menentukan criteria keefektifan. Jika tidak, konseli tidak akan tahu dimana saat-saat mereka telah mencapai tujuan yang mereka inginkan.
IV. MENGOPERASIONALKAN TUJUAN
Melalui pemberian deskripsi operasional terhadap tujuan, konseli akan memiliki gambaran yang jelas tentang tujuannya. Hal ini mendorong konseli untuk mengembangkan dan melaksanakan program-program demi pencapaian tujuan mereka.
V. MENGKOMUNIKASIKAN TUJUAN OPERASIONAL
Tujuan operasional dikomunikasikan pada konseli dengan cara menekankan pada ketentuan-ketentuan yang dapat diamati dan diukur. Ketentuan-ketentuan ini mengacu pada standar performansi. Biasanya hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan tujuan dalam hubungannya dengan lama waktu yang digunakan konseli dalam melakukan suatu perilaku.
VI. PENETAPAN TUJUAN
a. Pengembangan program
Jelas tidak cukup kalau kita hanya menetapkan tujuan saja. Untuk mencapai tujuan, kita perlu mengembangkan program. Program merupakan prosedur langkah-demi-langkah yang mempermudah pencapaian tujuan. Dalam pemberian penjelasan tentang tujuan, program diperoleh dari pengoperasian. Setiap langkah dalam program harus membawa pada penyelesaian operasi-operasi yang terlibat dalam suatu tujuan.
Kebanyakan program dirangkai oleh suatu kesatuan, artinya, setiap langkah bergantung pada pelaksanaan langkah sebelumnya. Karena itu, perlu ditentukan apa saja langkah yang harus dilakukan sebagai persiapan langkah selanjutnya dan pada akhirnya, pengoperasian tujuan. Dalam konteks ini, program pengambilan tindakan terdiri atas, tujuan operasional, langkah pertama yang mendasar, dan langkah perantara pencapaian tujuan. Tujuan adalah yang ingin dan perlu dicapai konseli. Langkah pertama merupakan langkah yang mendasar dimata konseli memulai untuk melangkah. Langkah perantara merupakan langkah-langkah yang secara langsung membawa pada pencapaian tujuan. Semua langkah tersebut membawa konseli dari tempat ia berada ke tempat yang ia inginkan
b. Pengembangan langkah awal
Langkah pertama adalah langkah paling dasar yang harus diambil konseli. Langkah tersebut harus menjadi bahan bangunan paling fundamental dalam suatu program. Dengan demikian langkah selanjutnya dapat diambil.
c. Pengembangan langkah perantara
Langkah perantara menjembatani jurang pemisah antara langkah pertama dengan tujuan. Langkah perantara yang pertama dapat diperkirakan berada pada setengah jalan antara langkah pertama dengan tujuan.
VII. PENGEMBANGAN PROGRAM
a. Pengembangan jadwal
Proses penginisiasian berlanjut seiring konselor mengembangkan penjadwalan waktu untuk pencapaian langkah dan tujuan. Jadwal disajikan untuk memfokuskan program yang akan dilakukan. Dengan adanya jadwal, jurang waktu yang mungkin ditinggalkan oleh perhitungan waktu akhir-terbuka(open ended time) akan lebih rapat.
Penekanan utama dalam proses penjadwalan adalah pada pengembangan waktu mulai dan waktu selesai. Hal tersebut menjelaskan pada konseli dan konselor kapan suatu hal harus dilakukan atau diselesaikan. Waktu mulai dan waktu selesai juga dapat ditentukan bagi langkah-langkah individual yang akan diambil seperti halnya pada keseluruhan program. Tidak ada program yang lengkap tanpa waktu dimulai dan waktu diselesaikannya program tersebut.
b. Menetapkan waktu penyelesaian
Langkah pertama yang diambil dalam pengembangan jadwal adalah menentapkan secara khusus kelengkapan waktu dan tanggal. Misalnya, konseli dapat menentukan waktu penyelesaian yang sama pada langkah-langkah atau tujuan yang akan diraih dalam berbagai aspek kehidupan, pembelajaran dan pekerjaan.
c. Menetapkan waktu pemulaian
Langkah kedua dalam pengembangan jadwal adalah menetapkan waktu dan tanggal pemulaian secara spesifik.
d. Mengawasi ketetapan waktu
Konselor dapat menetapkan waktu mulai dan selesai bagi tiap langkah sementara. Tujuan utama dari penetapan jadwal adalah untuk mengawasi ketepatan waktu atas performansi konseli terhadap pengerjaan langkah-langkah dalam program. Jadwal yang detail membuat konselor dan konseli dapat mengawasi pelaksanaan langkah-langkah dalam pencapaian tujuan.
VIII. PENGEMBANGAN JADWAL
a. Pengembangan peneguhan
Langkah selanjutnya dalam penginisiasian adalah pengembangan peneguhan yang akan mendorong konseli untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan. Peneguhan menjadi sangat efektif saat diaplikasikan dengan sesegera mungkin terhadap pelaksanaan langkah-langkah yang diambil.
Pelaksanaan langkah dalam pencapaian tujuan dan penanggulangan kekurangan diri sering kali berakibat terlalu jauh pada konseli. Banyak jenis peneguhan yang harus diperkenalkan pada konseli secepat mungkin. Lebih jelasnya, peneguhan-peneguhan ini harus datang dari bingkai referensi konseli.Banyak program pemberian bantuan yang gagal karena ketidakmampuan program tersebut untuk memberikan peneguhan yang sesuai. Perhatian apapun – bahkanyang negatif – dapat lebih meneguhkan dibanding proses peneguhan dalam suatu program. Empati merupakan sumber dari seluruh pengetahuan tentang peneguhan yang kuat bagi konseli.
1. Peneguhan positif
Peneguhan positif atau melalui reward adalah jenis peneguhan yang palingpotensial. Orang cenderung dapat bekerja keras demi sesuatu yang benar-benar berarti baginya. Hal ini berarti konselor harus bekerja dengan tekun untuk mengembangkan peneguhan positif terhadap bingkai referensi konseli. Kemudian konseli juga harus bekerja dengan tekun untuk menerima peneguhan tersebut. Peneguhan dapat bervariasi seiring dengan meningkatnya cita rasa alami manusia dengan sendirinya.
2. Peneguhan negative
Sebisa mungkin konselor harus mencegah peneguhan negatif. Dalam konteks ini penerapan atas peneguhan negatif dapat menstimulasi reaksi lainnya, misalnya reaksi penolakan terhadap orang yang memberikan hukuman. Untuk mencegah agar tidak berhadapan dengan reaksi semacam ini, konselor harus berusaha untuk menetapkan peneguhan negatif tersebut sebagai ketiadaan reward.
Konselor perlu untuk meneguhkan konseli secara positif dan membuat perilaku konseli menjadi terarah pada tujuan, serta mencegah perilaku tidak bertujuan dan peneguhan negatif pada konseli. Kebanyakan program terdiri atas langkah-langkah yang terangkai dalam satu kesatuan, dimana tiap langkah bergantung pada pelaksanaan langkah sebelumnya. Beberapa konseli tidak dapat melaksanakan langkah tersebut segera setelah mereka merancangnya. Langkah-langkah tersebut memerlukan pengindividualisasian program terhadap gaya belajar masing-masing. Jenis individualisasi program, berupa rangkaian langkah-langkah dari yang sederhana sampai yang kompleks, dari yang konkrit sampai yang abstrak, dari yang dekat sampai yang jauh. Seringkali langkah langkah ini berbeda dengan langkah-langkah yang terangkai dalam suatu kesatuan. Rangkaian langkah-langkah dapat berupa langkah-langkah sederhana ke kompleks, langkah-langkah konkrit ke abstrak, dan langkah-langkah jangka pendek ke jangka panjang.
Pengembangan inisiatif merupakan puncak pelaksanaan proses pemberian bantuan. Dengan memberikan tujuan yang terpersonalisasi dalam proses initiating, mendorong konselor dan konseli untuk menetapkan tujuan dan mengembangkan program pencapaian tujuan. Proses pemberian bantuan adalah suatu proses yang berkaitan dengan menangani masalah konseli dan membantu meraih tujuannya. Pada tingkatan tertinggi dalam pemberian bantuan, proses Responding dan initiating berhubungan secara integral. Tidak ada perwujudan dari pemahaman bila tidak ada tindakan, tidak aka nada pula suatu tindakan tanpa adanya pemahaman.



Sumber  :  http://bkpemula.wordpress.com/2012/06/29/keterampilan-initiating-dalam-konseling/

Psikoterapi Part VIII

Terapi Rasional-Emotif


Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Alberl Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkanya ketika ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem psikoanalisis ini mempunyai kelemahan-kelemahan secara teoritis (Ellis, 1974).
Teori Rasional Emotif ini merupakan sintesis baru dari Behavior Therapy yang klasik (termasuk Skinnerian Reinforcement dan Wolpein Systematic Desensitization). Oleh karena itu Ellis menyebut terapi ini sebagai Cognitive Behavior Therapy atau Comprehensive Therapy.
Konsep ini merupakan sebuah aliran baru dari Psikoterapi Humanistik yang berakar pada filsafat eksistensialisme yang dipelopori oleh Kierkegaard, Nietzsche, Buber, Heidegger, Jaspers dan Marleu Ponty, yang kemudian dilanjutkan dalam bentuk eksistensialisme terapan dalam Psikologi dan Psikoterapi, yang lebih dikenal sebagai Psikologi Humanistik.
Konsep-Konsep Utama
Terapi rasional emotif (TRE) adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Terapi rasional emotif menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakat. Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimulan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan- perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.
Menurut Allbert Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya berubah, mereka bukan korban-korban pengkondisian masa lampau yang pasif.
TRE dimulai dengan ABC:
A. Adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu, seperti kesulitan-ke­sulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai penye­bab ketidak bahagiaan.
B. Adalah beliefs, yaitu keyakinan-ke­yakinan, terutama yang bersifat irasional dan merusak diri sendiri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan kita.
C. Adalah consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik, dendam dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-­keyakinan kita yang keliru.


Sumber :  http://bkpemula.wordpress.com/2011/12/05/terapi-rasional-emotif/

Psikometri Part VII

Teknik Terapi Menurut Aliran Psikoanalisis
Dalam psikoanalisis terdapat 5 teknik terapi psikoanalisis, yaitu :
1. Asosiasi Bebas, merupakan teknik sentral dari psikoanalisis. Esensinya adalah bahwa klien melaju bersama pikirannya ataupun pendapat dengan jalan serta melaporkannya tanpa ada sensor. Asosiasi merupakan salah satu dari peralatan dasar sebagai pembuka pintu keinginan, khayalan,konflik,serta motivasi yang tidak disadari. (Corey, 1995; 174)
2. Interpretasi, terdiri dari apa yang oleh penganalisis dinyatakan, diterangkan, dan bahkan diajarkan kepada klien arti dari perilaku yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, penentangan dan hubungan teraupetik itu sendiri. Fungsinya adalah memberi peluang kepada ego untuk mengasimilasikan materi baru dan dan untuk mempercepat proses menguak materi diluar kesadaran selanjutnya (Corey, 1995; 174)
3. Analisis mimpi merupakan prosedur yang penting untuk bisa mengungkapkan materi tidak disadari dan untuk bisa memberi klien suatu wawasan ke dalam kawasan problem yang tak terselesaikan (Corey, 1995; 175)
4. Analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya resistensinya konselor meminta klien menafsirkan resistensi (Willis, 2004: 63).
5. Analisis transferensi. Konselor mengusakan klien mengembangkan transferensinya agar terungkap neorosisnya terutama pada usia selama lima tahun pertama dalam hidupnya. Konselor menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar terungkap transferensi tersebut (Willis, 2004: 63)
Teknik Terapi Menurut Aliran Humanistik
Dalam humanistik terdapat teknik terapi yang disebut dengan client centred. Pendekatan client centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dam fenomenalnya. Pendekatan client centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan client untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapiutik antara terapis dan client merupakan katalisator bagi perubahan.
Menurut Roger, Konseling dan Psikoterapi tidak mempunyai perbedaan. Konseling yang berpusat pada klien sebagai konsep dan alat baru dalam terapi yang dapat diterapkan pada orang dewasa, remaja, dan anak-anak.
Pendekatan konseling client centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian,dan hakekat kecemasan. Menurut Roger konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.


Sumber :http://epifanylimbong.wordpress.com/2012/04/02/teknik-terapi-menurut-aliran-psikoanalisis-dan-humanistik/

Psikometri Part VI

Latar Belakang
Allah SWT. menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat sempurna baik secara fisik maupun psikis. Manusia dianugerahi hati nurani (qalb), akal pikiran (al-‘aql), jiwa (an-nafs), dan ruh (ar-ruh) sebagai unsur psikis dan jasad (al-jism) sebagai unsur fisik. Antara unsur fisik dan unsur psikis tidak bisa dipisahkan, karena fisik yang tidak memiliki unsur-unsur psikis disebut mayat atau jenazah, sedangkan psikis yang tidak memiliki fisik disebut arwah.
Manusia bisa beraktualisasi dengan dunia nyata merupakan hasil bersinerginya unsur sistem fisik dan psikis. Terganggunya salah satu unsur ini akan menghambat manusia mengaktulisasikan potensinya. Jadi, unsur fisik maupun psikis saling mempengaruhi bekerjanya totalitas fungsi illahiyah dan fungsi kemanusian (khalifiyah) yang ada dalam diri manusia. Manusia akan bertindak semena-mena, tanpa mempertimbangkan perkara baik dan buruk, halal dan haram, bermanfaat dan mudharat merupakan akibat tidak bersinerginya unsur psikis dengan unsur fisiknya.
Emosi merupakan salah satu hasil kerja dari sinergi unsur fisik dan psikis. Menurut Walgito (2004) emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu (khusus), dan emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu, dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengatahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.
Emosi mempunyai bentuk yang berbeda-beda, misalnya senang, sedih, marah, takut atau gejala-gejala lain yang merupakan respon dari bekerjanya indera manusia. Salah satu emosi yang sering muncul dalam diri kita adalah emosi marah (ghadab). Marah merupakan salah satu satu fitrah manusia yang muncul ketika kebutuhan (needs) dan motif (motive) mereka terhalangi atau terhambat untuk dipenuhi. Menurut Al-Ghazali (dalam Mujib, 2007) penyakit marah (ghadab) disebabkan oleh dominasi unsur api atau panas (al-harȃrah), yang mana unsur tersebut melumpuhkan peran unsur kelembaban atau basah (al-ruthȗbah) dalam diri manusia. Hal ini telah disabdakan oleh Rasulallah SAW. bahwa “Sesungguhnya marah itu bara api yang dapat membakar lambung anak Adam. Ingatlah bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang melambatkan (menahan) amarah dan mempercepat keridhaan dan sejelek-jelek orang adalah orang yang mempercepat amarah dan melambatkan ridha”. (HR. Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudriy).
Marah secara umum mengakibatkan terganggunya aktualisasi diri di dalam kehidupan kita atau marah merupakan penyakit jiwa yang ada di dalam diri manusia. Walaupun menurut sebagian pendapat ulama marah bisa menjaga kelangsungan hidup manusia dan menumbuhkan kekuatan untuk membela agama Allah yaitu dalam jihadfȋsabȋlillah.
Jika marah merupakan suatu penyakit (patologi) di dalam diri manusia, maka barang tentu ada obatnya. Rasulallah SAW. Bersabda “Allah tidak menurunkan suatu penyakit melainkan Allah juga menurunkan obatnya”. (HR. Bukhari). Pada tulisan sederhana ini kita akan mengakaji tentang bagaimana kita mengontrol kemarahan sehingga hubungan kita dengan Allah (hablumminallȃh) dan hubungan kita dengan manusia (hablumminannȃs) tidak terganggu.
Rasulallah SAW. telah mengajarkan kita untuk mengatasi rasa amarah yang ada di dalam diri kita. Amarah yang disertai dengan bisikan dan tipu daya setan akan mengakibatkan manusia tersesat dan terjerumus kepada murka Allah SWT. Maka Allah melalui syari’atNya yang agung ini melindungi kita dari segala kelicikan dan keburukan-keburukan setan. Allah SWT. berfirman “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf [7] : 200).
Rasulallah SAW. bersabda “Jika salah seorang diantara kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri maka hendaklah dia duduk (hal itu cukup baginya), jika marahnya reda. Namun, jika marahnya tidak reda juga maka hendaklah dia berbaring”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Hiban). Kemudian dalam hadis yang lain Rasul bersabda “Sesungguhnya kemarahan berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api, dan api itu dipadamkan dengan air, karena itu jika salah seorang diantara kalian marah, maka hendaklah ia mengambil air wudhu”. (HR. Imam Ahmad). Selanjutnya di dari Imam Ahmad, dia meriwayatkan “Jika salah seorang diantara kalian marah maka hendaklah ia diam.” (HR. Imam Ahmad).
Berdasarkan dalil-dalil nash tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa posisi atau keadaan tubuh bisa mempengaruhi emosi manusia, begitu juga dengan air (wudhu) yang memberikan efek positif untuk melawan rasa marah. Hal ini tentu berkaitan dengan keimanan seseorang terhadap Allah SWT. Jika dilandasi iman yang kuat tentu orang akan mudah percaya dengan obat yang ditawarkan Rasul ini. Namun, jika iman kita lemah atau bahkan tidak beriman maka barang tentu orang akan mempertanyakan perkataan Rasul ini. Disinilah permasalahannya, Islam merupakan agama yang rahmatallil’ȃlamȋn “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyȃ’ {21} : 107). Maka disini kita berusaha melakukan objektifikasi keilmuan, yaitu penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif (Kuntowijoyo,2007). Dimana konsep-konsep yang bersifat mistis di dalam dalil-dalil naqli akan di terjemahkan sesuai dengan konteks saat ini tanpa mengubah hakikat dari syari’at Allah Yang Maha Sempurna. Sehingga rahmat yang dibawa oleh Islam bisa dirasakan oleh semua manusia, bukan cuma orang Islam, tapi seluruh umat manusia. Dengan begitu seluruh kebenaran-kebenaran yang ada dalam Islam akan diakui oleh seluruh umat manusia karena kebenaran Islam yang selama ini bersifat mistis (tekstual) telah diungkap secara kontekstual.
Psikoterapi Marah
A. Definisi psikoterapi marah
Di dalam Kamus Inggris-Indonesia (Echols & Shadily, 1984) mengartikan terapi secara bahasa adalah “Pengobatan physical” atau “Pengobatan jasmani”. Sedangkan menurut Chaplin (2005) therapy adalah satu perlakuan dan pengobatan yang ditujukan kepada penyembuhan satu kondisi patologis. Di dalam bahasa Arab kata therapy sepadan dengan Al-Istisyfȃ’ yang berasal dari kata Syifȃ’ – Yasyfȋ - Syafȋ yang artinya menyembuhkan (Munawir dalam Dzaky, 2008).
Psikoterapi (Psychotherapy) memiliki banyak pengertian karena penggunaan kata ini terdapat dalam berbagai bidang keilmuan, seperti bimbingan dan konseling (guidance dan counseling), psikiatri, case work, pendidikan, dan Ilmu Agama (Wahyudi dalam Dzaky, 2008). Sedangkan Psikoterapi Islam menurut Dzaky (2008) merupakan proses pengobatan dan penyembuhan suatu penyakit, apakah mental, spiritual, moral, maupun fisik dengan melalui bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunah Nabi SAW. atau secara emipirik adalah melalui bimbingan dan pengajaran Allah SWT., Malaikat-malaikatNya, Nabi dan RasulNya atau Ahli waris para NabiNya.
Psikoterapi marah adalah suatu upaya atau proses pengobatan dan penyembuhan rasa amarah yang ada di dalam diri manusia dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunah Rasul SAW. Marah merupakan salah satu bentuk emosi yang mendorong manusia untuk melakukukan sesuatu yang biasanya akan berakibat buruk bagi dirinya maupun orang lain atau lingkungannya baik secara moril maupun materil.
Menurut Asy-Syahawi (2005) ada dua cara untuk mengatasi marah yang tengah bergejolak, yaitu dengan ilmu pengetahuan dan dengan amal perbuatan. Namun, pada bahasan ini kita akan mencoba menguraikan dan mendalami cara mengatasi marah dengan cara amalan (perbuatan) yang meliputi sebagai berikut:
Pertama, mengucapkan isti’ȃdzah ketika amarah datang, yaitu dengan mengucapkan “A’ȗdzubillȃhi minasysyaithanir rajȋm”, artinya aku berlindung dengan Allah dari Godaan Syetan yang terkutuk. Allah SWT. berfirman “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf {7} : 200).
Kedua, berdiam diri. Dari Ibnu Abbas ra. menceritakan bahwa Rasulallah SAW. pernah bersabda “Jika salah seorang diantara kalian marah maka hendaklah ia diam.” (HR. Imam Ahmad). Berdiam diri merupakan obat yang sangat mujarab untuk meredam rasa marah karena biasanya orang-orang yang sedang marah suka mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak baik. Ini disebabkan tidak terkontrolnya lisan karena dorongan nafsu setan yang kuat dari dalam dirinya. Maruq Al-Ajali pernah mengugkapkan suatu ungkapan yang indah dan bijak serta dalam maknanya “Aku tidak pernah kenyang dengan kemarahan, dan tidak pernah berbicara saat marah dengan sesuatu yang kelak akan menjadi penyesalan setelah aku memaafkan”.
Ketiga, merubah posisi. Dalam hal ini, jika kita sedang marah dalam keadaan berdiri maka hendaklah kita duduk, kalau tidak reda juga maka hendaklah kita berbaring. Rasulallah SAW. pernah bersabda “Jika salah seorang diantara kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri maka hendaklah dia duduk (hal itu cukup baginya), jika marahnya reda. Namun, jika marahnya tidak reda juga maka hendaklah dia berbaring.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban). Kemudian Rasulallah SAW. juga memerintahkan kepada kita untuk untuk menempelkan diri ke tanah, tujuannya agar kita semakin menyadari hakikat diri kita yang hina, sehingga bisa menghilangkan kesombongan dan keangkuhan yang ada di dalam diri kita. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudry ra. yang berbunyi “Sesungguhnya kemarahan itu adalah percikan api yang menyala di dalam hati manusia, tidakkah kalian memperhatikan (orang-orang yang marah) kedua matanya memerah dan raut wajahnya mengerut? Jika salah seorang diantara kalian merasakan hal itu maka hendaklah ia menempelkan diri ke tanah.” (HR. Imam Ahmad).
Perilaku menempelkan diri ke tanah akan menimbulkan sifat rendah diri (tawadhu’), karena biasanya kemarahan disertai dengan rasa angkuh dan penuh kesombongan. Ketika kita menempelkan diri ke tanah, maka akan mengingatkan kita kepada asal mula penciptaan kita.
Keempat, segera untuk berwudhu. Ketika marah menghampiri seseorang maka hendaklah ia segera untuk berwudhu. Rasul SAW. bersabda “Sesungguhnya kemarahan berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api, dan api itu dipadamkan dengan air, karena itu jika salah seorang diantara kalian marah, maka hendaklah ia mengambil air wudhu”. (HR. Imam Ahmad). Ibnu Qoyyim Al-Jauziah mengatakan “Tidak seorangpun dapat memadamkan gejolak emosi dan nafsu birahi kecuali dengan wudhu dan salat. Adapun wudhu, karena ia adalah air dan amarah adalah api, dimana api dapat dipadamkan dengan air. Sedangkan salat, karena ia adalah munajat kepada Allah dan amarah timbul dari bisikan setan, bagaimanapun langkah setan tidak akan bisa menghalangi kehendak Allah. inilah kebenaran nyata yang tidak perlu membutuhkan bukti dan logika.” (Bada’ul fawaid, 2/494-495, Ibnu Qoyyim Al-Jauziah).
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi terapi marah
Marah merupakan bentuk ekspresi emosi yang ditimbulkan oleh pengaruh lingkungan sekitar manusia, dimana biasanya orang akan menjadi terpancing emosi marahnya apabila mendapatkan stimulus-stimulus yang mengancam atau mengusik ketenangan dan kenyamanan seseorang, misalnya orang akan marah jika dia di caci maki, di hina, dipukul, atau bahkan dilecehkan oleh orang lain. Secara global Asy-Syahawi (2005) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi orang sehingga orang bisa menjadi marah, yaitu kondisi fisik, kondisi psikis, dan kemungkinan lain adalah karena moralitas yang tidak baik.
Pertama, kondisi fisik yang kurang baik. orang akan cenderung marah karena menderita suatu penyakit, misalnya orang yang sakit gigi akan marah jika di dekatnya ada orang yang membunyikan type atau suara yang besar-besar. Kondisi fisik yang melemah akan menyebabkan rendahnya kontrol emosi seseorang.
Kedua, kondisi psikis. Orang yang memiliki mental yang sehat dan kodisi kejiwaan yang stabil akan membantunya mengontrol emosinya. Sebaliknya orang yang sedang mengalami tekanan, stress, dan depresi. Biasanya mereka akan mudah terpancing emosinya dan akan mudah marah. Biasanya hal-hal yang berifat sepele saja, tapi tidak disukai oleh orang yang mengalami gangguan kejiwaan ini akan memicu kemarahan dan kemurkaan yang luar biasa.
Ketiga, moralitas yang tidak baik. orang-orang yang sering melakukan perbuatan buruk, memiliki akhlak yang kurang baik, dan sering berbuat kejahatan akan membuat orang tersebut mudah marah. Karena mereka terbiasa dengan perbuatan-perbuatan setan dan mereka jauh dari Allah SWT. Bahkan sifat amarah sudah menjadi tabiat yang melekat pada diri mereka dan secara tidak sadar pun tabiat tersebut akan muncul tanpa dipikirkan.
Faktor-faktor di atas secara tidak langsung akan mempengaruhi proses terapi, karena ketiga faktor di atas sangat berpengaruh kepada kondisi seseorang disaat menjalankan terapi ini. Terutama dua faktor terakhir yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu kondisi fisik dan moralitas yang tidak baik. di dalam proses terapi kedua faktor ini akan dicoba dihilangkan. Sedangkan faktor yang pertama, yaitu kesehatan fisik mungkin bisa ditangani secara medis.
C. Unsur-unsur yang ada dalam terapi amarah
Dalam terapi marah yang telah dibahas di atas maka dapat kami simpulkan bahwa ada dua unsur yang ada dalam terapi ini. Dimana kedua unsur ini bisa menjelaskan dinamika rasa marah di dalam diri kita.
Pertama, unsur biologis, yaitu terjadinya perubahan-perubahan di dalam tubuh orang yang sedang marah, atau reaksi-reaksi fisiologis yang ditandai dengan perubahan hormon-hormon tertentu di dalam tubuh. Biasanya orang yang sedang marah bisa dilihat dari tanda-tanda biologisnya, misalnya mukanya menjadi memerah, pupil matanya membesar, detak jantungnya semakin cepat, orang yang sedang marah juga akan merasakan telinganya memanas. Ini disebabkan oleh perubahan kerja jantung secara drastis yang berusaha memompa darah ke wilayah tubuh bagian atas.
Di dalam Islam keterkaitan antara tubuh atau badan (body) dan Jiwa (mind) diakui sebagaimanan yang terdapat di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yaitu yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir dia berkata,”Aku telah mendengar Rasulallah SAW. bersabda “Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging, bila ia baik, maka baiklah seluruh jasad itu dan bila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad itu. Ketahuilah bahwa dia adalah Qalbu.” (Muttafaqun ‘alaih). Diponegoro (2008) mengatakan bahwa minddalam hadis ini dikaitkan dengan qalbu, sedang body dikaitkan dengan jasad. Nampak sekali bahwa qalb itu sehat dan baik, maka seluruh tubuh akan sehat dan baik, tetapi bila qalb rusak maka rusak juga seluruh tubuhnya.
Dalam kaitannya dengan terapi yang kami tawarkan pada tulisan ini, menurut hasil penelitian di Kota Panama wilayah Florida Dr. Ahmad Al-Qadhiy (United States of America) mengatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an memepengaruhi tubuh manusia dibuktikan dengan terjadinya perubahan-perubahan fisiologis di dalam tubuh kita. Terutama terjadinya perubahan syaraf-syaraf otak secara langsung sehingga mempengaruhi organ tubuh yang lainnya. Qadhiy juga mengungkapkan bahwa bacaan-bacaan Al-Qur’an akan menyegarkan kembali syaraf-syaraf otak yang tegang. Sehingga hal ini kan mempengaruhi kerja sistem tubuh yang lainnya.(httpmajlisdzikrullahpekojan.orgsains-islampengaruh-quran-terhadaporgan-tubuh).
Kedua, unsur psiklogis adalah tabiat atau akhlak yang terbentuk melalui berbagai pengalaman-pengalaman belajar yang salah. Panksepp mengatakan bahwa berdasarkan data penelitian tentang emosi, yang menunjukan bahwa keadaan-keadaan emosional-motivasional seperti rasa marah bisa muncul tanpa kita pikirkan. Kemudian Wilson menambahkan bahwa terkadang kita dengan benar merasakan atau mempelajari sesuatu tanpa usaha sadar apapun; maksudnya intuisi kita sering terbukti valid karena hal itu datang dari bagian dalam otak yang tidak berada di bawah kendali sadar. Menurut Izard, semua penelitian ini konsisten dengan teori Freud bahwa kita dapat mengalami ransangan dalam diri yang tidak kita fahami secara kognitif (Friedman dan Schustack, 2008).
Konsep Psikologi tentang Terapi Marah
Mengelola dan mengendalikan emosi marah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya kita menggunakan metode terapi dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunah Rasulallah SAW. metode tersebut adalah dengan membaca isti’adzah, berdiam diri, merubah posisi tubuh, dan dengan bersegera untuk wudhu ketika marah menyerang. Untuk menjelaskan metode ini secara kontekstual maka kita meminjam teori-teori Psikologi Barat yang relevan dengan konsep terapi ini. Selanjutnya kami akan menjelaskannya sebagai berikut.
Pertama, apa yang terjadi ketika kita membaca isti’adzah?. Isti’adzah adalah ucapana’ȗdzubillahiminasy syaithȃnir rajȋm (Aku berlindung dengan Allah dari godaan setan yang terkutuk), yang merupakan bacaan yang diperintahkan oleh Allah SWT. ketika kita akan membaca Al-Qur’an dan ketika kita meminta perlindungan Allah SWT. dari godaan dan kejahatan setan yang terkutuk. Bacaan isti’adzah tentu bukan hanya sekedar bacaan biasa tanpa memberikan pengaruh pada diri dan jiwa seseorang. Apalagi ketika kita membaca bacaan ini dengan hati yang khusuk dan iman yang kuat akan pertolongan Allah SWT. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal [8] : 2).
Isti’ȃzdah merupakan salah satu bentuk bacaan dzikir sekaligus merupakan doa yang ditujukn kepada Allah SWT. Menurut Supradwi (2008) bacaan-bacaan dzikir dapat berpengaruh pada fisiologis tubuh dan mental psikologis individu. Dan hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa ada pengaruh dzikir dalam menurunkan afek negatif pada mahasiswa. Dimana afek negatif merupakan bisa berupa rasa tegang, kecewa, gugup, ngeri, memusuhi, mudah tersinggung, malu, gelisah, dan takut, umumnya bisa diartikan sebagai perilaku penyesuaian sosial yang kurang baik dan kurang mampu untuk bekerja sama dengan individu lain. Selain itu hasil-hasil penelitian empiris antara lain penelitian yang berhubungan dengan do’a, atau kegiatan keagamaan universal yang berpengaruh terhadap aspek fisiologis individu. Misalnya penelitian mereka yang aktif berdo’a atau bersilaturrahmi, ternyata memiliki kondisi fisik yang jauh lebih baik daripada mereka yang jarang bahkan tidak pernah berdo’a (Diponegoro, 2008).
Iman, tauhid, dan ibadah kepada Allah menimbulkan sikap istiqamah dalam perilaku. Di dalamnya terdapat pencegahan dan terapi penyembuhan terhadap penyimpangan dan penyelewengan, dan penyakit jiwa. Seorang mukmin yang berpegang teguh kepada agamanya, maka Allah akan menjaga semua ucapan dan perbuatannya. Sedang, imannya memeliharanya dari penyimpangan dan penyelewengan serta penyakit jiwa (Musbikin, 2008). Meredam kemarahan bagi seorang Muslim tentu akan menimbulkan efek positif disebabkan kekuatan yang mendorong perubahan perilakunya bukan hanya faktor eksternal saja, tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu iman dan tauhid, serta keyakinan akan pahala dari Allah SWT.
Kedua, dengan berdiam diri. Pada tinjauan ilmu syaraf , ditunjukkan bahwa emosi dibentuk oleh multi struktur di dalam otak .Proses cepat , minimal, dan evaluatif signifikansi emosional yang berasal dari sensor data , diproses ketika data yang ada melewati amygdala, dalam perjalanan dari organ sensor sepanjang jalur syaraf menuju limbic otak di bagian depan .Tentang bagiamana emosi dilampiaskan tergantung pada kebiasan individu , pola kepribadian, juga adat istiadat yang dianutnya . Kemarahan mengakibatkan perubahan-perubahan fisiologis dalam tubuh.
Marah dapat merubah fungsi organ tubuh. Terkait dengan ini, Mardin mengungkapkan hasil penelitian ilmiah mengenai pengaruh fisiologis akibat kecemasan telah mengungkapkan adanya berbagai perubahan dalam seluruh anggota tubuh seperti hati, pembuluh darah, perut, otak dan kelenjar-kelenjar dalam tubuh. Seluruh jalan fungsi tubuh yang alamiah berubah pada waktu marah. Hormon adrenalin dan hormonlainnya menyalakan bahan bakar pada saat marah muncul (www.scribd.com/doc/32694859/bab-14-mengelola-emosi). Sehingga apabila perubahan tersebut tidak diikuti dengan ekspresi tubuh maka reaksi fisiologis tubuh tadi akan sedikit terbendung. Tetapi, ketika reaksi fisiologis diikuti dengan ekspresi tubuh yang agresif maka hormon-hormon yang ada didalam tubuh akan terstimulasi untuk bereproduksi.
Ketiga, merubah posisi tubuh ketika sedang marah. Metode terapi ini erat kaitanya dengan sistem fisiologis manusia, di dalam psikologi dikaji dalam psikologi faal, yaitu suatu cabang ilmu psikologi yang mengkaji tentang pengaruh perubahan-perubahan fisiologis tubuh terhadap perilaku dan kejiwaan manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam biologi bahwa kemarahan menstimulasi saraf simpatik dari sistem otonom, saraf tubuh yang memang bekerja untuk merespon kondisi stress seperti trauma, takut, hipoglisemia, dan saat olahraga. Saraf simpatik beraktivitas beragam pada tubuh dan terlihat sekali pada orang marah. Dimulai dengan dilatasi pupil mata (mydriasis). Kemudian juga menstimulasi peningkatan kecepatan dan kekuatan kontraksi otot jantung. Pembuluh darah berkonstriksi (menyempit) mengakibatkan darah mengalir dengan cepat, bersinergis dengan kerja jantung yang meningkat mengakibatkan tekanan darah meningkat. Tekanan darah yang meningkat drastis di otak itulah yang dapat menyebabkan pusing. Pada saat marah proses peningkatan tekanan yang terjadi di pembuluh darah otak atau jantung yang telah elastisitasnya berkurang, misal pada kasus atherosklerosis ataupun arteriosklerosis, dapat berakibat sudden death. Kemudian menstimulasi saraf otonom yang bekerja di luar kesadaran kita sehingga akan berakibat fatal pada tubuh kita. Respon saraf simpatik lain bekerja pada medula adrenal menstimulasi sekresi adrenalin dan juga pada organ reproduksi. (sumber:http://swestika.blogspot.com/2008/11/proses-fisiologi-marah.html).
Setelah kita meninjau dari sudut pandang faali, maka jelas bahwa ketika marah hormon-hormon yang ada di dalam diri kita akan berubah drastis. Sehingga perubahan-perubahan hormon ini akan mengakibatkan kemarahan seseorang.
Pengaruh yang diakibatkan oleh berbagai kondisi terhadap curah jantung, sehingga mempengaruhi tekanan darah menurut William F. Ganong (dalam Khumaidati, 2005) sebagai berikut:
Tabel. Pengaruh aktivitas tubuh terhadap kondisi curah jantung
Perubahan
Kondisi / Faktor
Tidak ada perubahan
Tidur
Perubahan moderat suhu lingkungan
Meningkat
Kekhawatiran dan perasaan mendebarkan
Makan
Oralah raga
Suhu lingkungan tinggi
Kehamilan
Epiretrin
Menurun
Duduk / berdiri dari posisi berbaring
Penyakit jantung
Dari tabel di atas dapat kita simpulkan bahwa beberapa aktivitas dan kondisi tubuh mempengaruhi perubahan naik atau turunnya tekanan darah termasuk di dalamnya ketika posisi berdiri, duduk, dan berbaring.
Keempat, untuk segera berwudhu ketika rasa amarah merasuki tubuh kita. DR. Ir. Ibrahim Karim (ketua organisasi energi visalitas, Kairo, Mesir) membandingkan energi spiritual dengan gerakan tambahan ketika seseorang berdzikir dengan asmȃul husnȃ, wudhu, salat, membaca Al-Qur’an, dan mengumandangkan adzan. Selanjutnya Karim mengatakan bahwa ketika seseorang berwudhu, sebenarnya ia sedang membasuh daerah-daerah wudhu, yaitu bagian tubuh manusia yang tampak dan terkena energi gerakan tambahan yang timbul dari diri orang lain, ketika berwudhu, energi ini akan rontok bersamaan dengan air wudhu yang dapat menjadikan seseorang berkonsentrasi di dalam salatnya (Musbikin, 2008).
Berdasarkan penelitian Masaru Emoto (2006) bahwa air memiliki suatu bentuk energi sensitif yang sulit dilihat (disebut Hado). Begitu juga dengan semua benda yang ada di alam semesta ini. Energi ini bisa berbentuk positif atau negatif, dan mudah dipindahkan dari benda satu ke benda yang lainnya. Hal ini terbukti dengan eksperimen yang dilakukan Emoto terhadap air yang di stimulasi dengan kata-kata baik dan kata-kata buruk. Air yang diberi simulus dengan kata-kata yang baik akan membentuk kristal-kristal yang indah dan tersusun secara tertur dan indah. Sedangkan air yang diberi stimulus dengan kata-kata kotor/buruk akan menghasilkan kristal-kristal yang tidak teratur.
Jika demikian adanya, bahwa penelitian mutakhir membuktikan air bisa dipengaruhi dan begitu juga sebaliknya air bisa juga mempengaruhi karena semua benda di dunia ini memiliki energi (Hado) yang bisa ditransformasikan dari benda satu ke benda yang lainnya termasuk tubuh manusia, oleh Emoto (2006) disebutkan bahwa pikiran dan tubuh manusia dipengruhi oleh gelombang intrinsik benda lain yang digunakan untuk membentuk resonansi. Dalam hubungan antar manusia kerap kali kita mengatakan kita tidak cocok dengan seseorang, sebenarnya hal ini ada kaitannya dengan gelombang dan resonansi. Maka ketika kita berwudhu Islam mengajarkan umatnya untuk berdo’a dengan bacaan-bacaan yang baik serta mengandung pujian. Rasulallah SAW. ketika hendak berwudhu beliau membaca “Bismillah...” artinya
Dengan nama Allah (aku berwudhu)” (HR. Abu Dawud no. 101, Ibnu Majah no. 399) di dalam (Jawas, 2008).
Hasil Terapi Marah
1. Mereduksi reaksi-reaksi fisiologis dalam tubuh saat kemarahan merasuki tubuh manusia.
2. Memberikan efek positif dalam mengendalikan emosi secara terarah dan terkontrol sesuai dengan tujuan fitrah manusia.
3. Menumbuhkan keistiqamahan seseorang di dalam beribadah kepada Allah SWT.
Kesimpulan dan Saran
Terapi marah merupakan suatu proses pengobatan dan penyembuhan rasa amarah yang ada di dalam jiwa manusia dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Terapi marah yang digunakan bisa dengan Ilmu atau dengan Amalan. Terapi marah dengan amalan berupa membaca isti’adzah ketika amarah merasuki tubuh, berdiam diri, merubah posisi diri dari berdiri, menjadi duduk, kemudian berbaring, dan yang terakhir adalah segera berwudhu. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa keempat terapi di atas berpengaruh pada reksi-reaksi fisiologis yang ada dalam tubuh manusia. Bukti-bukti ini menunjukan bahwa terapi amarah melalui amalan ini efektif dalam mengontrol dan mengatasi rasa amarah dalam jiwa manusia.
Bagi peneliti selanjutnya penulis sarankan untuk meneliti terapi marah melalui Ilmu, dan lebih mendalami danpak-danpak psikologis dari terapi ini, ataupun danpak-danpak lainnya sehingga konsep-konsep terapi mara di dalam Islam bisa di objektivikasikan kedalam wilayah kontekstual.
 
Sumber :  http://raudlatulmuhibbin.blogspot.com/2012/05/terapi-marah-dalam-tinjauan-psikoterapi.html